“Entah kenapa setiap kali aku melihatmu rasanya keinginan untuk hidup itu hilang,” geleng Toto lemas melihatku rebahan di sofa tercinta.
“Suruh siapa kau melihatku? ini kan hidupku kenapa kau yang repot?” bantahku.
“Kalau kata orang, mimpi buruk itu harus diceritakan agar tidak terjadi sesuatu yang buruk. Tapi kalau kau yang cerita itu seperti kutukan bagi orang yang mendengarnya,” tambah Asbul mengerling mata pada Toto.
“Pasang jimat!” ucapku kesal.
“Hah... Yang benar…,” pikir Toto sedikit terkejut. “Bukankah sekarang hari Selasa?”
“Jimat To, bukan Jumat” jawab Asbul.
"Owh..."
“Sedang apa kalian disini, pulang sana menuhin rumah orang,” usir Kakak iparku yang datang tiba-tiba.
“Kak, aku kan numpang di rumah Kakak,” kataku melas.
“Owh ya lupa, Adikku kan…?” ujar Kakakku tidak memperpanjang ucapannya karena sudah ia siratkan di balik goyangan alis matanya.
“Betul sekali Kak," ucap Toto puas.
“Memangnya kau tahu apa yang mau aku katakan?” tanya Kakakku pada Toto yang memotong ucapannya.
“Kalau hubungannya sama Lotty Kak, mata batinku otomatis terbuka,” katanya dengan senyum yang merekah.
Lain halnya dengan Asbul yang langsung kabur, kalau Toto lebih memilih cara lembut untuk menghadapi Kakakku, meski ujungnya tidak akan mempan.
“Hahahhahahah…,” aku tertawa melihat wajah Toto yang langsung mematung berhadapan dengan Kakak yang paling cantik. namun aku juga langsung bungkam ketika tatapan horornya berubah haluan kearahku. Tatapan mutlak yang merupakan peringatan dan mengharuskanku untuk mengungsi.
“Its my life…, “ ingat itu adalah gumaman dari dalam hatiku bukan kata “Bon Jovi."
Masa depan tidak ada yang bisa menerka begitupun dengan pemikiran dan penampilan seseorang yang sulit untuk dikenali bahkan dipahami. Itulah yang ku lihat dari dirinya dan teman-temanku saat ini. Tapi anehnya hal itu seperti tidak berlaku untukku. Habar-kabar yang aku dengar tentang mereka semuanya telah berubah baik itu dari penampilan ataupun kehidupan, setidaknya hal itu yang kulihat dari ke dua sahabatku. Ya… Semua orang sedang berusaha untuk menjadi pohon. Mereka dipupuk, disirami dan hanya tinggal menunggu untuk menunjukan buahnya. Justru aku seperti batu yang selalu berada disamping pohon (mereka). Ketika hujan turun, pohon menjadi subur sedangkan diriku tertutupi lumut dan tidak terlihat, bahkan terkadang aku tidak bisa mengenali diriku sendiri. Ini adalah diriku sekarang yang semakin jauh dari harapan dan kenyataan. Bahkan sahabatku mengatakan jika aku lupa dengan hidupku.
Dari zaman sekolah dulu, rasa percaya diriku sangatlah tinggi. Aku selalu percaya apa yang aku lakukan dan tidak pernah peduli apa yang orang lain katakan. Aku juga sering kali menyiapkan progress masa depan. Meski sering tergores ataupun terluka, aku tidak mempermasalahkannya selagi hal itu bisa sembuh dan menghilang namun rasa sakit itu akan ku ingat untuk suatu saat nanti.
Keyakinan membuatku berpikir terlalu jauh sampai temanku memandang terlalu berlebihan, karena harusnya aku menikmati masa-masa SMA-ku, yang lebih penting lagi memikirkan cara untuk lulus sekolah terlebih dahulu. Padahal bukanlah tanpa persiapan aku memikirkan itu semua, meski bukan tergolong orang yang pintar tapi aku orang yang cukup berusaha dengan keras. Karena itu aku yakin akan lulus dan diterima di perguruan tinggi yang terbaik dan diumurku yang ke 23, aku bisa menjadi lelaki dewasa yang akan menggapai dan bertarung diseluk beluk kehidupan. Tapi, ternyata apa yang aku rencanakan tidak sesuai kenyataan. Catatan kecil untuk masa depanku hanyalah sebuah goresan pena yang tidak berarti. Aku seperti lelaki terhebat yang berubah seketika menjadi Mikroba sampai kehadiranku seakan tidak dirasakan.
Begini nasib jadi bujangan, kemana-mana tak punya uang tiada orang yang menganggu. Hati senang walaupun tak punya uangggg o… o… owwww…
Hari ini baik sekali, aku harus bertemu muka dengan kedua pria yang terbelenggu keadaan, sedang asyik bernyanyi dengan suara yang membuat pagiku semakin suram. Bagaimana tidak, di pagi yang cerah ini aku sudah diberi asupan gizi dengan nutrisi buruk yang berlebih untuk membuat pikiran semakin kacau. Suara mereka yang memgacaukan susunan not lagu semakin lama semakin melengking tidak berujung membuatku semakin gemetaran. Aku tidak pernah ikhlas jika lagu favoritku dinyanyikan oleh mereka. Akupun langsung menaikkan volume suara berharap suara mereka yang angker berhenti. Namun justru yang terjadi mereka menyanyikannya semakin kencang dan tidak mau kalah, padahal aku sudah menunjukan wajah muram semenjak aku menginjakan kaki ditempat ini, mereka tetap asyik menyanyi dan mengacuhkanku. Karenanya aku hanya bisa bernyanyi dalam hati atau dalam keadaan sendiri tapi mereka terlalu memaksakan diri untuk mengeluarkan suara mereka yang pas-pasan. Suara itu seakan mengumpat didalam gendang telinga dan semakin jelas terekam di memoriku. Berkali-kali aku marahpun percuma, mereka semakin heboh menikmati dengan gelengan kepala dan gerakan bibir yang elastis.
“Weyy… suara neror bangga, berisik kalian!” aku menimpuk mereka dengan bantal di sofa.
“BEEEEGINNI NAAAAAAAAAASIB JADIIIIIIII BUJANGANNNNN…,” melihat amarahku mereka dengan sengaja menyanyikannya semakin kencang dan menjadi-jadi berteriak ditelingaku. Kalau sudah begini amarahku yang sudah dipastikan kalah dan menciut.