Balada Cinta Balado

Qarina R Jussap
Chapter #2

No Money, No_Donggg...

Sebelumnya aku pernah bekerja mungkin sekitar 2 tahunan sambil kuliah. Namun setelahnya, aku tidak pernah lagi bekerja karena alasan yang sudah pasti karena DIA yang membuatku tidak ingin keluar kamar ataupun melakukan apapun. Saat itulah masa-masa suramku ketika aku benar-benar kehilangan dirinya. Aku hanya meringkup memeluk guling yang selalu menemaniku sampai aku tersadar jika sudah berbau, berubah warna dan jika lebih lama mungkin akan berjamur. Semenjak saat itu aku menjadi bulan-bulanan Kakak iparku untuk meledekku manusia Gua. Tidak hanya itu. ia juga menyiksaku karena tubuhku lebih sering berdiam diri tidak melakukan apapun. Jika tidak membantunya aku tidak akan diberi makan olehnya. Kakak kandungku hanya diam saja melihat istrinya memperlakukanku seperti itu, bahkan Kakakku seolah-olah tidak merasakan hawa keberadaanku. Justru terkadang aku memergoki Kakakku dan Kakak ipar bekerja sama untuk terus menyiksaku berkali-kali lipat. Mulai dari mengasuh keponakan yang lucu dan menggemaskan, namun berakhir dengan mengenaskan. Aku mencoba untuk meninabobokan keponakanku justru aku yang tertidur, aku membersihkan setelah ia buang air, semenjak saat itu aku sulit untuk makan, apalagi yang berhubungan dengan selai ataupun sejenisnya. Mengantarnya untuk belajar Paud justru membuat para hot mama melupakan suaminya yang berada dirumah dan menggodaku. Dimana-mana aku selalu menjadi korban kehidupan.

Bagaimanapun aku beruntung memiliki kakak ipar yang tidak pernah lelah memarahiku, justru terkadang membuatku membuka mata, benar-benar membuka mata, jika sedang marah ia sangat mirip dengan Hulk, jika sedang menasehatiku ia seperti captain amerika, dia juga pintar seperti iron man, akupun sulit menandinginya dan pastinya cantik seperti black widow namun tidak seseksi dia. Terkadang aku lupa jika aku adik iparnya. Hmmmm...

Eiittsss… Tidak hanya sampai disitu, masih banyak pekerjaanku yang aku kerjakan, aku memaku perabotan yang rusak justru berakhir hancur, memperbaiki genting rumah pecah bukannya lebih baik malah yang pecah bertambah banyak, memperbaiki keran justru terjadi tsunami. Mencuci baju seolah-olah aku telah menambahkan bunglon didalamnya. Dan masih banyak lainnya. Disaat yang sama aku mengharapkan ada pemadam kebakaran untuk meredakan amarah Kakak iparku yang marah-marah bak tabung gas yang meledak. Aku baru menyadari jika aku tidak bisa melakukan apapun menjadi lebih baik dan hal itu menjadi bahan pertimbanganku. Terlintas dipikiranku, mungkin si Dia meninggalkanku karena aku tidak berguna atau karena Dia meninggalkanku membuatku tidak berguna? Dipikir panjangpun otakku tidak akan pernah sampai karena sedari dulu aku tidak pernah sekalipun membantu orangtua melakukan hal yang sekarang dilakukan, yang aku ingat hanya makan, tidur, main, sekolah dan minta uang jajan. Aku benar-benar sangat bersyukur memiliki Kakak seperti mereka, meski akupun merasa jika mereka terpaksa menerimaku.

“Owh jadi karena itu toh! Ya ampun bro gitu aja kok repot,” ucap Asbul. “Serahkan pada diriku."

Asbul bangga menepuk-nepuk dadanya bak gorilla.

“Ya jelas repotlah Bul ! Dia kuliahkan kepaksa. Untung lulus, bagaimana kalau tidak?” Toto mengangkat kedua bahunya.

“Benar itu! Aku lupa kalau punya teman yang sudah lumutan,” ejek Asbul menggelengkan kepala dan mereka tertawa puas menertawaiku.

“Apa maksud kalian berdua!” aku merasa kesal tidak terima dengan ucapan mereka.

“Memang benarkan? Sudah selesai kuliah harusnya mencari kerja, bukan menengadahkan tangan sama Kakakmu,” Asbul mulai berceramah. Kalau sudah begini aku mulai diikat oleh kata-katanya.

“Kau itu Bul, seperti tidak tahu dia saja. Diakan korban zaman Bul. Hahahaha,” sambung Toto puas. ""Sekolah tinggi juga banyak yang nganggur." Kau ingatkan dia pernah berkata seperti itu dulu.”

“Ya, benar. Aku inget.” angguk Asbul menekan wajah sedihnya.

Kini mulai bertambah lengkap pula, temanku yang pintar dan ganteng mulai mencumbu kompor. “Memang kenyataannya itu yang banyak dikatakan orang-orang. Aku hanya mengcopy saja?” kataku santai.

“Nah… nah… ini…ni…” ujar Asbul menunjuk-nunjuk kearahku dengan wajah yang mulai kesal. "Kau menganggurkan bukan karena tidak mendapat kerja, itu karena kau sendiri yang tidak mau bekerja. Kau selalu menyalahkannya dan menghilangkan kesempatan. Setidaknya kau beruntung karena kau masih memiliki keluarga yang mampu atau... Mungkin karena hal itu juga kau mengandalkannya."

“Kenapa kau Bul?” Tanya Toto heran dengan sikap Asbul. Matanya melirik padanya namun jari telunjuknya mengarah kepadaku.

“Sungguh dwarrr binasa kasihan sekali aku punya teman dengan pikiran seperti itu,” geleng Asbul. “Kalian berdua tuh enak dikasih kesempatan sama Tuhan. Punya uang lebih, otak mampu dan wajah yang tampan. Tapi kau sia-siakan. Bayangkan saja dan kalianpun tahu yang sekolah tinggi masih banyak yang nganggur apalagi kalau seperti aku. Yang ada kalian bukan nganggur lagi. Mungkin bisa tertindas zaman. Meski begitu bukan berarti tidak ada cara lain untuk meraihnya. Keberuntungan tidak akan terus berpihak pada kalian dan kalian juga sadar tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan. Motto hidup hal 393. Karena akupun merasakan hal itu, padahal aku yakin dengan kemampuanku jika aku berjuang pasti bisa, cukup harus menerima dan berteman dengan kenyataan."

“Jiaahhh… apa salah aku Bul?” ucap Toto kena dampak lumpur Asbul. "aku kena juga."

“Diam kau… aku belum selesai ngomong,” bentak Asbul yang membuat Toto mematung.

“ya… ya… terus bagaimana?” aku memelas.

“Kalian kan tahu keadaan diriku yang terhimpit keadaan, tapi aku tidak ingin berada dibawah terus, aku berusaha untuk setara atau kalau dizinkan mungkin lebih," Asbul mengelus dagunya yang tidak berbulu sembari menggelengkan kepala.

Angguk Toto berkali-kali.

“Terkadang aku beruntung dilahirkan dalam keadaan yang serba cukup, cukupnya itu pas banget. Aku tidak bohong, aku juga marah, kesal dan menyalahkan keadaan, termasuk Tuhan dan orangtua. Mengapa aku dilahirkan dalam keadaan seperti ini. Aku merasa iri dengan teman-teman yang aku lihat mereka senang tanpa beban pikiran. Lagi trend barang ini dan itu, mereka bisa dengan mudah membelinya sedangkan aku harus berpikir mengerutkan dahiku berkali-kali lipat. Meskipun aku sudah menabung dan ingin membelinya tapi tetap saja aku tidak bisa membelinya. Karena ada yang lebih penting daripada harus mengikuti hawa nafsu. Mungkin jika aku lahir dalam keadaan yang dunia ini lihat, aku tidak akan mengetahui ternyata prosesnya sesulit ini."

"Ya… ampun bro hidupmu bagai timbangan, berat sekali sepertinya?"

Toto tak henti-hentinya berceletuk dan terus bertanya-tanya.

“Sedih… aku itu sedih. Sakitnya itu disini," Asbul menunduk dengan wajah yang memelas dan aku pikir ia menunjuk hatinya kerena sakit hati, tapi ternyata dia menunjuk kantongnya. Beberapa detik kemudian Asbul bangkit berdiri dengan penuh keyakinan dan mendongakkan wajahnya, mengepalkan dan mengangkat tangannya, wajahnya serius bak pujangga yang akan membaca puisi kebangaan. “Tapi lama kelamaan aku berhenti mengeluh, karena aku lelah terus memikirkan semuanya. Aku meronta kepada orang tuaku, mereka menangis “Tidak ada orang tua yang tidak ingin melihat anaknya bahagia”, karena ucapan ibuku justru aku menangis cabai Carolina reaper, perihnya lebih pedas dari bawang bombai. Rasanya itu tidak ingin berhenti menangis dan hatiku panas. Kalaupun aku harus berdoa seumur hidup tanpa usaha pasti Tuhan tidak akan mengabulkan keinginanku. Aku membuka mata, menenangkan hati dan pikiran. Pelan tapi pasti yang penting niat, doa dan usaha. Tidak ada waktu untuk terus mengeluh meski aku sadar itu tidak mudah bahkan sangat, sangat, sangat sulit. Motto hidup hal 368".

"Aku salut padamu bro." ungkap Toto terharu dan menitikkan air mata.

Lihat selengkapnya