"Ada lowongan kerja tuh di bank tempat ipar kamu kerja," kata ibu saat aku masih sibuk membuat bahan ajar untuk murid-muridku di tempat kursus di ruang tengah.
"Tempatnya Mas Hendi?" tanyaku pada ibu. Ibu mengangguk. Mas Hendi adalah suami Mbak Ajeng, kakak pertamaku. Aku tahu dia bekerja di sebuah bank BUMN sudah lama. Kalau tidak salah sejak aku masuk SMA berarti sekitaran tahun 2003.
"Coba kamu masukin lamaran. Daripada cuma kerja di tempat kursus. Gajinya kan ga seberapa," bujuk ibuku penuh pengharapan aku akan mengiyakan.
"Tapi aku kan bukan lulusan akunting, Bu. Mana bisa kerja di bank?"
"Kata Hendi bisa kok. Buka lowongan buat semua jurusan S1. Coba aja. Siapa tau rejeki."
"Hng," aku hanya menggumam.
Ah, ibu. Aku tahu ibu selalu punya segala cara untuk membujuk. Sementara aku tidak enak untuk menolak. Nanti dibilang anak durhaka.
"Mir-" ibu menegur. Sepertinya menungguku menjawab iya atas permintaan- ralat, titah. Ibu tidak pernah meminta. Segala perkataannya harus jadi sendiko dawuh. Jadi akhirnya kuiyakan saja. Toh, belum tentu diterima juga, pikirku saat itu.
"Iya deh."
"Nah, gitu dong. Nanti ibu tanyain ke Hendi syarat lamarannya apa aja terus dikirim kemana."
Wajah ibu langsung berbinar-binar sesaat setelah aku menyanggupi keinginan ibu. Niat ibu memang bagus sih bantuin aku nyari kerjaan yang lebih baik. Tapi passion-ku sebenarnya bukan di dunia perbankan. Aku ini ngitung satu tambah satu aja hasilnya jadi kita gimana bisa kerja di dunia perbankan? Bisa-bisa pas aku ngitung duit hasilnya jadi cinta. Iyalah, cinta. Siapa sih yang ga demen duit? Nah, bahaya kan. Apalagi kalo aku khilaf bukannya masukin duit ke brankas malah masukin ke tas.
Tapi untuk menghindari cecaran ibu yang tak akan berhenti sampai aku menyerah dan berkata iya sekaligus untuk menyelamatkan kupingku dari bujuk maut ibu dan nasihat-nasihat bijak ibu, aku iyakan saja. Sudah kubilang kan belum tentu juga aku diterima. Bekerja di bank itu identik dengan wajah rupawan. Yah, seenggaknya menarik lah. Aku tidak memiliki keduanya. Wajahku memang ga jelek sih tapi juga tidak bisa masuk kategori di antara dua itu. Tapi kalo soal bahasa Inggris aku bisa jamin. Jaminan sesat. Hehehe. Nggak lah, skripsiku dapat nilai A kok dulu yang kuketik dengan bahasa Inggris. Sombong dikit ga papa lah ya.
Setidaknya kalau aku mencoba mendaftar dan gagal aku bisa punya alasan untuk tidak bekerja di sana. Entahlah, aku sejujurnya tidak punya selera bekerja di dunia itu. Aku tidak suka mengerjakan sesuatu yang bukan passion-ku. Lagipula kalau aku diterima kerja di sana ada Mas Hendi. Aku tak nyaman harus bekerja dengan orang yang masih jadi keluarga. Aku tak mau diterima bekerja hanya karena ada orang dalam. Rasanya hati nuraniku tidak bisa menerima itu kalau memang itu terjadi. Aku tidak suka menggunakan kekuasaan atau hak istimewa orang lain. Aku lebih suka dipandang orang karena aku memang punya kemampuan. Bukan sekadar punya koneksi. Aku juga tidak mau dipandang sebelah mata. Dianggap tidak memiliki kemampuan selain karena koneksi orang dalam.
Akhirnya aku pun mendaftar dan ternyata hasilnya-
"Mir, kamu dapet surat nih!" teriak ibuku suatu hari, dua minggu setelah aku mengirim lamaran kerja.