Balada Kacung: The Frontline Warrior

Gie Salindri
Chapter #2

Menuju Diklat Niqmat

Seminggu pasca menerima pengumuman lolos seleksi penerimaan pegawai, aku harus bertolak ke Yogyakarta untuk mendapat pendidikan dan latihan di pusdiklat perusahaan tempat Mas Hendi bekerja. Pusdiklat PT. Bank Nusantara, Tbk.

"Mbak, kamu ke Yogya naik apa?" tanyaku pada Mbak Gita, salah seorang teman yang kukenal di proses rekrutmen itu karena ternyata rumah kami berada di komplek perumahan yang sama hanya beda blok saja, setelah kami mendapat pengarahan di kantor perusahaan outsourcing yang menerima kami.

"Aku naik mobil travel kayaknya, Mir. Berangkat besok pagi aja. Kenapa?"

"Aku nitip dipesenin kamu aja ya, Mbak, soalnya aku ga tau kalo ke Yogya harus naik apa. Lagian biar ada temen juga daripada cengok nanti di sana."

"Oh, boleh boleh. Aku minta nomor hape kamu aja deh biar besok aku bisa tanya-tanya lagi."

Mbak Gita pun mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya padaku agar aku mengetikkan nomorku di sana. Lalu kami pun berpisah jalan.

Keesokan paginya sekira pukul sepuluh, sebuah travel berhenti di depan rumahku dan kudapati sudah ada Mbak Gita dan beberapa wajah lain yang kulihat saat penerimaan pegawai tapi tak kuhapal nama-namanya. Ternyata banyak juga di antara mereka yang melakukan keberangkatan di hari dan jam yang sama dengan travel yang sama pula. Kami pun duduk bersebelahan di dalam mobil dan mengobrol sampai beberapa jam kemudian. Sekitar pukul 15.00 kami sampai di sebuah apartemen yang menjadi tempat kami menginap selama tiga pekan ke depan.

"Kok kita brenti di sini?" tanyaku bingung.

"Lah, kamu ga dapet sms pemberitahuan dari PT. Cahaya Gemilang?" Mbak Gita bukannya menjelaskan malah balik bertanya. Oh ya, PT. Cahaya Gemilang adalah nama perusahaan outsourcing yang merekrut kami. Tapi yang mengadakan diklat tetaplah Bank Nusantara, bank tempat kami akan ditempatkan bekerja.

Aku menggeleng. "Emang sms apa sih?"

"Itu loh. Sms pemberitahuan kalo pusdiklatnya lagi penuh jadinya kita ditempatkan di apartemen ini selama diklat," terang Mbak Gita.

"Oh-" aku ber-oh-ria padahal dalam hati jejeritan katro. Maklum, aku ga pernah menginjakkan kaki di apartemen sama sekali. "Aku sering hapus-hapusin sms, Mbak, soalnya sering bikin memori hape penuh sih." Mbak Gita mendecak.

Aku masih mengagumi bangunan enam lantai di depanku yang didominasi warna merah. Keren bener nih bank. Pusdiklat penuh, trainee-nya dipindah ke apartemen. Emang ya perusahaan BUMN ga kaleng-kaleng kalo soal beginian. Aku menggeleng-gelengkan kepala takjub. Sebenarnya apartemen itu bukan apartemen mewah seperti yang ada di kota-kota besar. Lebih mirip family hotel daripada apartemen. Tapi karena aku memang jarang bepergian selain wisata sekolah, dan karena aku berekspektasi kami akan menginap di tempat semacam asrama, aku tetap takjub.

"Yuk, masuk, Mir. Kamu mau berdiri di situ terus sampe kapan?" Mbak Gita mengajakku yang masih cengok lalu aku pun tersadar dari kebegoanku.

"Hah? Oh iya, bentar bentar," aku segera menyeret koporku mengikuti langkah Mbak Gita yang ada di depanku. Mbak Gita sepertinya membawa lebih sedikit barang daripada aku. Dia hanya membawa sebuah tas pakaian kecil dan sebuah tas ransel yang juga tidak begitu besar sementara aku membawa sebuah kopor ukuran sedang dan tas slempang kecil. Padahal aku biasanya tipe orang yang malas ribet untuk urusan membawa barang ketika bepergian. Tapi hati nuraniku menjerit kalau aku membawa baju yang tidak sesuai dengan warna jilbabku. Jadilah aku membawa pakaian yang dicocokkan dengan warna jilbab yang ada selain pakaian kerja yang sudah ditentukan oleh Bank Nusantara untuk seragam selama masa diklat. Aku juga membawa totebag- sebagai tas cadangan- yang lebih besar untuk keperluan selama diklat nanti dan kumasukkan ke dalam kopor. Praktis juga sih kalo bawa kopor karena semua barang muat di dalamnya selama ga bawa kulkas, meja, kompor- eh, itu diklat apa pindah rumah?

"Kamu kok bawa tas dikit banget, Mbak?" aku tak tahan untuk bertanya.

Lihat selengkapnya