Aku menjejakkan kaki yang berjuluk Kota Satria ini. Sebuah kota kecil nan sejuk yang terletak di bawah kaki Gunung Slamet. Aku agak sedikit terkejut dengan perubahan cuacanya. Aku terbiasa hidup di daerah pesisir pantai lalu tiba-tiba mulai sekarang sampai empat tahun ke depan (dengan catatan kalo bisa lulus tepat waktu) harus tinggal di daerah dataran tinggi. Namun, aku sudah membayangkan serunya kuliahku nanti di jurusan Sastra Inggris ini meski aku masih bisa mengingat euforia saat aku menemukan namaku di barisan nama-nama calon maba lain yang terpampang di satu lembar koran lokal. Ya, aku berhasil masuk ke sebuah universitas negeri di kota ini lewat jalur SPMB. Betapa bangganya aku. Yah, meski universitas ini tergolong kurang bergengsi dibanding dua universitas negeri lain di Jawa Tengah dan DIY tapi aku tetap bangga. Dua kakakku bahkan tak pernah ada yang lolos seleksi SPMB meski ikut lebih dari sekali dan terpaksa harus puas dengan hanya kuliah di universitas swasta.
"Haaaachiii..." aku bersin.
Ah, ini dia. Ucapan selamat datang dari imun tubuhku yang lemah dengan hawa dingin. Ah ya, aku memang alergi dengan hawa dingin. Lebih tepatnya dengan cuaca ekstrim. Sebentar panas sebentar dingin. Ini masih siang bahkan menjelang tengah hari bolong tapi cuaca di sini masih dingin bukan main. Aku menyentuh hidungku, berdoa semoga dia tidak rewel selama empat tahun ke depan karena harus berjibaku dengan udara dingin begini.
"Ajigineeeeeng!! Lo bersin liat-liat dulu kek. Muncrat tauk!" Teriak seseorang yang awalnya tak kuperhatikan. Sepertinya dia sudah di dekatku dari tadi. Hanya saja karena hawa keberadaannya tipis jadi aku tak menyadari kehadirannya. Kuperhatikan dia. Perempuan. Berambut panjang. Memakai kaos putih. Aku terpaku pada kedua kakinya.
Semoga napak, harapku.
Kakinya diselubungi sepatu Converse dengan corak army. Setelah kuperhatikan lagi ternyata kepalanya juga ditutupi oleh topi hijau dengan corak senada. Aku mendesah lega. Ga mungkin Mbak Kunti make sepatu Converse dan topi army kan apalagi nongol siang-siang gini. Aku melupakan kemungkinan bahwa fashion bisa saja sudah merambah ke dunia perhantuan. Kulihat dia sedang membersihkan sisa bersinku yang tak sengaja terarah padanya. Ya kan lendir bersin nggak punya mata jadi kalo dia kemana-mana wajar lah. Maklumin aja.
"Apa lo liat-liat?" tanyanya galak. Seperti anjing tetanggaku yang suka menyalak. Gara-gara ini aku yakin perempuan di depanku ini manusia. Kalo dia Mbak Kunti pasti aku sudah dijadikannya sate dan dimakannya sekaligus dalam sekali suap.
Aku memang sedang memperhatikan penampilannya yang bak calon tentara. Andai dia mengenakan kaos hijau army juga sudah bisa kupastikan dia pastilah calon tentara yang sedang pendidikan. Atau setidaknya cewek yang terobsesi jadi tentara tapi ga direstui bapaknya karena dia perempuan. Tubuhnya beberapa senti lebih tinggi dariku meski sepertinya berat badan kami hampir sama karena kami sama-sama kurus.
"Nggak papa. Maap, maap ya. Tadi aku nggak tau kalo ada orang," aku menangkupkan kedua tangan memohon maaf.
"Buseeett. Gue segede gini lo ga liat?" cewek itu tampak tersinggung. Aku cuma bisa senyum kikuk.
"Lo orang mana sih? Jawa?" tanyanya.
"Pekalongan," jawabku lebih spesifik.
"Oh, yang banyak batik itu ya? Ortu lo pengusaha batik juga?"
Aku menggeleng. "Bukan."
"Kirain semua orang dari sono jualan batik."
Lah, dikata Pekalongan nggak ada keberagaman pekerjaan? Emang cuma kota gede aja yang ada diversity?