Sarah menekan dada kuat-kuat, manakala netranya bersirobok dengan sosok lelaki yang tengah duduk manis di kursi pelaminan. Lengan pria itu diapit mesra oleh mempelai wanita yang tersenyum bahagia di hari pernikahan mereka. Seandainya saja ia tidak menemani Damar—abangnya—datang ke pesta ini, mungkin saja dirinya tidak akan pernah tahu kebenaran yang sedang menjadi pemandangan paling menyakitkan bagi sang hati.
Sarah memilih untuk kembali ke dalam mobil tanpa memberitahu Damar terlebih dahulu. Namun, ketika hendak membuka pintu, gadis itu tertegun sesaat, sebab otaknya terlalu lamban memberikan informasi.
“Ah, sial. Kuncinya ‘kan Abang yang pegang.”
Hampir lima belas menit Sarah menunggu di bawah pohon rindang yang kebetulan tumbuh didekat Damar memarkir kendaraan.
“Kok kamu udah duluan aja nyampe sini, Sar?” Pria yang tersenyum lebar karena perutnya sudah kenyang, menekan tombol remote sehingga pintu kendaraan pun dapat dibuka dengan mudah.
Sarah tidak menjawab, ia segera menghambur masuk ke dalam mobil. Hatinya yang sakit menjadi kian nyelekit, saat mendengar Damar sendawa berkali-kali karena isi perutnya terlalu padat.
“Mantap kali memang abangku ini! Kalau udah ketemu makanan, jangankan ingat adiknya, mertua lewat pun dia nggak akan mau lihat!”
“Loh … loh, kenapa ini?” Damar yang tengah memainkan setir dengan lincah, meski perutnya terasa begah, terkejut dengan ucapan bernada kekesalan yang dilontarkan oleh Sarah.
Gadis di sebelah mendengkus, lalu membuang pandangan ke arah jalan. Seharusnya ia terus bersikukuh menolak diajak ke tempat ini, memilih tidak peduli meski Damar tak memiliki partner yang dapat menemani. Namun, Sarah pun tak tahu, jika lelaki yang menjadi suami teman abangnya adalah sosok yang pernah mendekati sekian tahun.