"Sar, ada undangan buat kamu. Itu di atas meja yang warna merah."
Mira yang mengenakan kemeja biru laut dengan kaca mata lensa bening tebal, mengintip dari balik layar komputer. Kedatangan Sarah diketahui dari derap langkah stiletto setinggi lima senti meter miliknya.
Sorot mata belo itu menatap ke arah wanita berkemeja biru, kemudian beralih pada sepucuk surat undangan berwarna merah dengan pita keemasan di sudut kiri atas.
"Terima kasih, Uni Mira." Ia lantas duduk, mengembuskan napas berat.
Lelah rasanya setelah seharian mengisi seminar, menggantikan Andri yang begitu banyak alasan untuk tidak datang ke sana. Mendongkol sudah pasti, tetapi semua harus ia jalani demi nama baik KPI. Lagipula Andri memang memiliki alasan kuat kenapa memilih Sarah. Mira benar, sebagai pengajar, cara berbicara Sarah di depan khalayak ramai sungguh patut diacungi jempol. Hanya saja ia kerap kesal setiap kali Andri melimpahkan beban itu kepada dirinya.
Sarah melirik undangan yang masih tergeletak di meja. Nama Dania dan Aldi terkait oleh sebuah gambar hati. Hal ini membuat perasaan Sarah semakin teriris. Di antara mereka berempat, hanya dirinya saja yang masih lajang. Usia pun juga tidak lagi muda, seketika Sarah menyesal telah menyia-nyiakan waktu yang berlalu dengan percuma.
Ah! Sarah meraih undangan itu lantas memasukkannya ke dalam tas. Ia kemudian menempelkan punggung pada sandaran kursi sambil melihat ponsel yang seharian diabaikan. Banyak sekali chatting yang belum terbaca, pastinya dari grup mereka—Ratu Sejagad.
Sarah melewatkan perbincangan di grup itu, lalu menggeser layar ke atas untuk melihat pesan-pesan lain yang perlu dibaca. Lagi, nama Beno tampil di pelupuk mata, haruskah chatting-nya dibuka sekarang atau abaikan dulu? Namun, Sarah ternyata memilih untuk membacanya.
[Siang, Dek. Kamu tidak lupa ‘kan, kalau sore ini kita janjian ketemu?]
Sarah hampir saja memuntahkan air yang baru ia teguk sembari melihat-lihat gawai.
“Enggak banget ini orang. Seenaknya manggil ‘Dek’!” Gadis itu bicara seperti meracau saja.
Mira sampai mengintip dari balik monitor komputer. Kemudian ia menggeleng, sebab sudah sangat paham sifat dan sikap absurd Sarah. Lima tahun mereka bekerja dalam satu komisioner karena sebelumnya Mira berada di komisioner lain. Rasanya tidak asing dengan hal-hal yang dilakukan oleh Sarah, ketika gadis itu sangat bahagia, atau sedang merasa kesal. Berbicara dengan tidak jelas hingga memajukan bibirnya ke depan, sudah bukan hal baru lagi.
“Tapi … apa salahnya mencoba buat ketemu. Siapa tahu dia orang yang bisa ambil hatiku.” Sarah kembali berujar pelan. Ia menyentuhkan telunjuk ke dagu beberapa kali, sementara mata terus menatap pada layar ponsel.
“Ah, kenapa dia enggak pake foto yang kelihatan muka sih buat profil WA?” Gadis itu menggerutu, kernyit di dahi membuat wajahnya tampak memburuk. Namun, ia tak pernah menyadari hal itu. Jempol sudah menekan foto profil whatsapp Beno, yang terlihat hanyalah tulisan logo Radio Bento FM.