Sarah memukul setir kuat-kuat. Ia merasa sangat kesal lantaran dikatakan perawan tua di depan banyak orang oleh si Beno, menciptakan rasa sakit hati yang tak terperi. Gadis itu bahkan belum stabil untuk menyetir, sebab amarah masih bergejolak di dalam dada. Butuh waktu baginya menormalkan kembali.
Sarah sudah menghidupkan mesin kendaraan, sesaat setelah ia masuk. Pendingin pun disetel dengan maksimal. Bukan karena cuaca yang terasa panas, melainkan jiwa raga yang tengah terbakar amarah.
“Hah! Beraninya dia mengataiku demikian. Ingin kusumpal aja mulutnya pake kaos kaki busuk! Argh!” Sarah menggigit setir dengan kuat. Ia menjadi gila sendiri karena ucapan Beno terus terngiang-ngiang di pangkal telinga.
“Malah banyak banget lagi orang yang denger. Apa yang akan mereka pikirkan tentang aku? Hist!” Gadis perawan yang sudah sangat matang itu kembali memukul setir, tetapi kali ini justru tidak sengaja mengenai klakson. Sehingga mengeluarkan bunyi yang membuat orang didekat parkiran terkejut, pun dirinya sendiri.
Beberapa menit Sarah menyandarkan kepala pada jok mobil, bahkan hingga membentur-benturkan cangkang otaknya itu pada benda yang sedang disandari. Ia masih begitu kesal. Ingin balik ke dalam hanya untuk memaki-maki Beno, tetapi urung. Hal itu justru hanya akan memperburuk keadaan.
Getar gawai di dalam tas yang terlempar ke jok sebelah, berhasil menarik perhatian Sarah. Ia lantas mengulurkan tangan kiri dan merogoh isi di dalamnya, menelusuri hingga jemari berhasil menyentuh badan gawai yang masih bergetar.
Dahi Sarah mengernyit ketika melihat nama Beno terpampang di layar. Kekesalan kembali naik satu tingkat, ia langsung menolak panggilan tersebut. Namun, rupanya Beno tak putus asa, lelaki itu terus menghubungi hingga nomornya diblokir oleh Sarah.
“Biar mampus kamu! Enak banget, udah ngatain aku perawan tua, ujug-ujug nelpon lagi. Kan kampret!” Gadis itu mencibir. Ia lalu melempar pandangan ke luar jendela. Terlihat Beno tengah celingak-celinguk di pelataran parkir restoran ini.
Sarah lalu menginjakkan kaki pada kopling, lalu tangan kirinya memainkan tuas persneling menuju huruf R. Mobil pun mundur setelah kaki sebelah kanan menekan pedal gas dengan sedikit dalam, sehingga menimbulkan bunyi decit cukup keras. Orang-orang yang berada di sekitar parkir terkejut, termasuk Beno. Kemudian setir diputar ke arah jalan keluar, dengan lincah kaki gadis itu kembali menginjak kopling lalu tangan memainkan tuas transisi ke angka satu. Tepat saat berada di depan Beno, pedal gas diinjak berkali-kali dengan kaki kanan, sementara kaki kiri menahan kopling agar mobil tidak melompat.
Tujuan Sarah berhasil. Setelah memastikan Beno terpancing dan kesal menatap ke arah mobil yang ia kendarai, gadis itu pun benar-benar melaju meninggalkan restoran tersebut. Cukup puas rasanya, Sarah sudah bisa tersenyum meski samar.
Setelah sampai di rumah, ia langsung dihadang oleh Tante Mirna yang memperlihatkan struk pembayaran listrik bulan ini.
“Tante sudah bilang, kalau kamu naikin daya gara-gara pakai pendingin ruangan itu. Bayarnya tepat waktu! Masa iya Tante terus yang nalangin. Kamu tahu ‘kan Tante cuma pedagang kue orderan. Untung saja mendiang pamanmu PNS, masih ada yang bisa Tante gunakan. Ingat, si Martha juga butuh biaya. Dia kuliah di IPB, tahu sendiri biaya hidup di Jawa sana berapa!” repet Tante Mirna sembari menyodorkan kertas putih itu kepada Sarah.