Sarah akhirnya mengajukan izin dengan mengirimkan surat keterangan dokter ke kantor. Ia merasa tidak sanggup untuk bekerja dalam dua hari ke depan. Belakangan gadis itu menyadari hikmah dari setiap kejadian buruk yang menimpa. Dengan diam di rumah, Sarah jadi banyak waktu untuk menyiapkan soal kuis dan juga UTS nantinya. Sehingga hari ini ia dapat berdiri dengan mantap di depan kelas, sembari membagikan lembaran soal yang telah disiapkan dalam dua hari belakang.
Andaikan saja pada waktu itu dia tidak pergi ke rumah Amanda, lalu tak ditawarkan minuman oleh tuan rumah, belum tentu ia akan meneguk teh daun jati belanda yang membuatnya diare hebat. Dengan mengalami sakit, Sarah jadi punya banyak waktu di rumah, hingga akhir pekan pun tiba.
Netra yang tajam milik Sarah, jeli menatap satu per satu mahasiswa yang tengah mengerjakan kuis. Tidak boleh ada satu pun yang menyontek. Hal ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana pemahaman satu mahasiswa terhadap mata kuliah yang ia ajarkan. Berdasarkan pencapaian nilai inilah, Sarah akan memperdalam pembahasan mengenai materi yang terlihat kurang dikuasai mahasiswanya, yang rata-rata dari golongan karyawan. Namun, dengan rentang usia di bawah tiga puluhan.
Tatapan gadis lajang yang sudah matang itu, terhenti pada satu mahasiswa yang tampak berbeda dari lainnya. Belum pernah Sarah melihat pemuda ini, ah, orang itu bahkan terlihat seperti pria dewasa, jauh lebih tua dari rata-rata mahasiswanya selama ini. Tidak laik disebut pemuda lagi, wajahnya sangat boros. Terlebih dengan gaya rambut yang disisir belah tengah dan menggunakan pengeras rambut sejenis pomade pula, lalu kaca mata bundar besar dengan bingkai hitam tebal. Sungguh norak sekali dandanannya dan semakin tua dengan gaya busana ala era tujuh puluhan ini—celana cutbray dan baju lengan panjang bermotif.
Sarah berjalan mendekati. Melihat apa yang ditulis pria itu di dalam lembar jawaban. Manik matanya seketika melotot saat membaca rangkaian kata yang dicatat oleh pria tujuh puluhan ini.
“Ehm—” Sarah merampas dengan geram kertas yang membuat darah tingginya menjadi kumat.
“Aku …!” Gadis itu membaca isi lembar jawaban pria tujuh puluhan dengan keras sembari berjalan kembali ke depan kelas.
Kepala para mahasiswa yang tadinya menunduk, buru-buru terangkat karena mendengar apa yang dibacakan oleh dosennya.
“Sudah … sudah, selesaikan dulu jawaban kalian. Setelah beres, kumpul ke depan dan silakan keluar ruangan.” Sarah sadar, saat ini bukan waktu yang tepat untuk membacakan isi lembar jawaban pria yang—“hei, kamu. Siapa namamu?” tanya Sarah sembari menunjuk ke arah orang dimaksud.
“Saya, Buk?” Dia malah balik bertanya.
Sang dosen pun mengangguk, “Iya, kamu.”
“Saya Roberto, Buk.”
Sarah mencoba menahan gelaknya. Ini sangat menggelikan, sepertinya satu mahasiswa itu memang berasal dari era yang telah lampau. Apakah dia hantu yang sedang menyamar menjadi manusia? Apakah hanya dirinya saja yang mampu melihat sosok itu?
“Ketua kelas.” Sarah menunjuk satu mahasiswa yang duduk di barisan terdepan sebelah sudut dekat pintu kelas.
“Iya, Buk.”