Sarah sudah sejak magrib tadi mondar mandir di depan cermin. Pakaian yang berserak di atas ranjang telah cukup menjadi bukti, bahwa ia sangat sulit menentukan busana tepat untuk pergi makan malam dengan Indra. Lelaki itu sudah mengabari bahwa ia akan menunggu di sebuah restoran yang terletak tak jauh dari pantai. Meski Indra mengatakan tidak bisa menjemput, tetapi Sarah tak mempermasalahkannya. Gadis itu bahkan bersedia mengendarai mobil sendiri hanya agar bisa bersua dengan Indra.
Pakaian yang tepat sudah ditemukan. Ia merasa akan sangat modis jika mengenakan busana ini, gamis dress berwarna hitam dengan motif bunga matahari di seluruh bagian. Penambahan ikat pinggang dengan rantai menjuntai berwarna emas, serta hijab modis yang dipasang sedemikian rupa, membuat Sarah benar-benar tampil memukau malam ini. Tak lupa sepatu pesta berwarna gold dan juga tas kecil senada dengan warna alas kaki. Make up sedikit bold membuat penampilannya kian mempesona.
Sebelum keluar dari kamar, Sarah menyeprotkan wewangian mahalnya sedikit lebih banyak dari biasanya, sehingga membuat seisi ruangan menjadi harum semerbak.
“Ah, sudah paten, udah mantap ini.” Ia tersenyum menatap ke cermin, lalu berputar. Kemudian diliriknya jam di pergelangan tangan. Masih pukul tujuh lewat lima belas menit, sedangkan mereka janjian pukul delapan malam. Seketika Sarah merasa menyesal telah bersiap-siap secepat ini. Waktu salat Isya sebentar lagi juga akan masuk.
“Udahlah, Isya ‘kan waktunya panjang. Nanti aja abis dinner aku salatnya.” Dengan mudah ia berkata demikian, lalu melangkah keluar dari kamar.
“Mau ke mana kamu, Sar? Udah malam begini.” Tante Mirna yang sedang menonton acara televisi, menoleh ketika mencium aroma Sarah yang semerbak. Ditambah dengan penampilan ala acara kondangan membuat dahi si Tante semakin mengernyit.
“Sarah ada janji ketemu sama seseorang Tante. Doakan ya, Tan, moga-moga kali ini berjodoh.” Gadis itu tersenyum malu-malu. Ia mengambil tempat untuk duduk di sebelah Tante Mirna.
“Jodoh? Kamu bertemu dengan laki-laki? Dia jemput ke sini, tidak?” Seperti orang tua pada umumnya, si Tante memang terlihat sedikit khawatir. Meski Sarah sudah sangat dewasa, tetapi tidak menutup kemungkinan, ia akan terjerembab ke dalam gelimangan dosa.
“Enggak bisa dia, Tan. Mungkin lain waktu, saat ini dia bilang nunggu aja langsung di lokasi.” Sementara Sarah masih betah dengan senyum bahagianya itu.
“Eh, mana bisa begitu!” Tante Mirna langsung menepuk lengan Sarah. “Sebagai lelaki, dia harus datang ke sini menjemput kamu dong. Masa iya, malam-malam begini kamu dibiarkan pergi seorang diri ke sana. Di mana letak tanggung jawabnya sebagai pria?”
“Ih, Tante, apaan sih? Jangan kuno deh. Bang Indra itu orang yang sibuk, dia bertemu dengan banyak klien dan menyempatkan untuk makan malam sama Sarah. Nantilah, akan ada masanya Sarah kenalin dan suruh dia ke sini. Tante pasti bakalan langsung setuju.”
Dengan yakinnya gadis itu mengatakan hal demikian. Sementara Tante Mirna masih terlihat enggan untuk membiarkan Sarah pergi, tetapi ia pun tak punya hak penuh atas hidup gadis itu. Usia Sarah tidak lagi muda, sehingga tidak mungkin Tante Mirna terus memperlakukannnya layaknya anak ABG yang masih sangat labil.