Sarah masuk ke dalam restoran dengan wajah yang tertunduk. Ia sudah mengetahui posisi duduk Indra saat ini. Di lantai dua, arah ke jalan. Bukan main malunya gadis itu ketika berhadapan dengan Indra nantinya. Pria itu pasti melihat apa yang sudah terjadi dengannya di bawah sana.
Manik mata gadis itu telah menangkap sesosok lelaki paling tampan di lokasi ini, menurutnya. Indra terlihat tidak mengenakan jas seperti waktu itu. Pakaiannya tampak sedikit santai dengan kemeja berwarna biru tua. Jantung Sarah kian berdebar tak karuan saat telah berada di sisi meja.
Ketika melihat sosok yang dinanti sudah datang, Indra seketika berdiri, lalu menarik kursi untuk Sarah duduki. Lagi-lagi gadis itu merasa tersanjung dengan sikap manis yang telah diberikan oleh Indra kepada dirinya. Hal yang tak pernah ia dapatkan dari lelaki manapun sebelumnya.
“Abang udah nunggu lama?” Sarah sengaja membuka percakapan dengan hal yang lain. Ia tak ingin Indra lebih dulu mengatakan sesuatu yang berkenaan dengan peristiwa memalukan di tengah jalan tadi.
Indra tersenyum simpul. Ia menggeleng, “Belum lama juga.” Pria itu kemudian mengangkat sebelah tangan dan memanggil seorang pelayan restoran.
“Ini, kamu pesan dulu saja, ya. Saya ke toilet sebentar.” Indra menyerahkan buku menu yang dibawakan oleh pelayan kepada Sarah. Ia kemudian bangkit setelah gadis itu mengangguk.
“Saya pesan mango thai dan nasi goreng saja.” Gadis itu lantas memberikan kembali buku menu kepada pelayan restoran setelah pesanannya dicatat.
Beberapa menit kemudian, Indra kembali muncul lalu duduk di hadapan Sarah seraya menyunggingkan senyum menawan. Wajah gadis di hadapannya seketika merah merona.
“Kamu sudah pesan?” tanya pria itu.
Sarah mengangguk sambil tersipu malu. Wajahnya ditundukkan terus, padahal tidak ada yang perlu disembunyikan dari sana.
“Angkat dong kepalanya. Saya jadi rugi tidak bisa menikmati keindahan wajah seorang bidadari yang harum lagi manis ini.” Perkataan itu terdengar bagai gombalan yang menyebabkan gadis yang duduk terpisahkan meja, tak dapat menyembunyikan air mukanya yang kian tersipu.
“Abang ngomong apa sih?” Sarah berujar tanpa mengangkat kepala sama sekali.
“Kalau kamu menunduk begitu, bagaimana kita akan bisa bicara, Sarah. Saya mau melihat wajahmu sambil menceritakan kisah lalu yang katanya ingin kamu ketahui.” Telunjuk lelaki itu menggaruk alisnya yang tebal serta tersusun dengan rapi.
Perlahan Sarah menaikkan wajah, tetapi belum berani untuk memandang Indra dengan lebih intens. Ia masih sangat malu. Sudah lama tak merasakan debaran di dalam dada saat berhadapan dengan seorang pria. Terakhir bersama Beno dan hal itu sangat jauh dari harapannya.
“Begini baru bagus,” ujar Indra sembari meletakkan satu tangannya yang tadi menggaruk alis di atas meja. “Kamu tahu, Sarah. Tidak ada yang lebih indah untuk dipandang selain wajah di hadapan saya ini.” Lelaki itu kembali menggombal, membuat Sarah tak dapat menyembunyikan tawanya yang terlihat begitu senang.
“Meskipun, kejadian di bawah tadi cukup mampu membuat saya tertawa.”