Sarah telah menghabiskan semua makanan dan juga minuman yang terhidang. Ia menjadi sering bersendawa dan buang angin karenanya. Beruntung hanya tinggal seorang diri di rumah. Jika saja ada Tante Mirna, ia pasti akan merasa malu. Seorang Sarah Monika yang menyukai kesempurnaan, pun terlihat amat perfect, melakukan hal yang amat memalukan seperti ini. Namun, apa boleh buat, setelah angin-angin itu keluar, sakit kepalanya jadi sedikit berkurang.
Gadis itu beranjak ke depan televisi. Sudah ada karpet busa tebal motif stroberi berwarna dominan pink yang terkembang di lantai, beserta dengan bantal bentuk kaki sepaket dengan karpet. Sarah menghidupkan benda yang merupakan media telekomunikasi penghantar gambar beserta audio, kemudian mengganti siaran sesuai dengan yang ia ingini saat ini.
Baru akan terlelap, pagar rumah terdengar dibuka oleh seseorang. Ia ingat belum mengunci pintu depan. Buru-buru Sarah bangkit, lagi-lagi hal ini menyebabkan kepalanya berdenyut dan penglihatan jadi berkunang-kunang sesaat. Sarah menggapai kapala sofa dan membawa tubuh untuk didudukkan di atasnya. Sekira satu menit kemudian, penglihatannya sudah mulai normal kembali, meski menyisakan sedikit rasa nyeri di bagian sebelah kiri.
“Assalamualaikum.” Suara seorang pria mengucapkan salam di depan pintu. Sarah seperti mengalami dejavu. Ia seolah pernah mendengar suara itu, tetapi kapan dan di mana.
“Waalaikumsalam.” Sarah menjawab sesudah ucapan salam yang ke dua kali. Sebelumnya ia sempatkan meraih jilbab yang tergantung di dekat kursi tempat ia rebahan tadi. Setelah memasangnya, gadis itu pun membuka pintu.
Sarah terkejut ketika mendapati sosok Roberto di balik pintu yang baru saja terbuka.
“Bu Sarah. Maaf, saya ditugaskan … eh, dimintai bantuan oleh Bu Maya untuk menjemput beberapa kotak kue yang sanggup saya bawa.” Roberto bicara sembari membetulkan kaca mata lensa bening dengan gagang hitam tebal miliknya. Busana yang dikenakan tetap sama seperti ketika berjumpa di kampus kala itu.
“Kamu … ah, sudahlah. Tunggu sebentar.” Sarah lalu mengambil satu kotak kue yang dikatakan oleh Tante Mirna tadi, bonus untuk orang yang menjemput. Sementara kue-kue pesanan sendiri, sudah tertata di meja tamu.
“Kamu bisa bawa berapa?” tanya Sarah sembari menenteng satu kotak kue di tangan.
“Hm, bisa ditesting dulu, Bu. Kalau saya sanggup membawa dua, akan saya bawa dua!”
“What!” Wajah Sarah kembali terlihat tegang. Ia tak menyangka pria tujuh puluhan ini memiliki selera humor yang buruk.
Roberto hanya menunduk. Ia menyembunyikan senyum di balik gelagat memperbaiki kaca mata seperti tadi.
“Jangan bercanda dong. Dua saja yang kamu bawa, mau bolak-balik berapa kali ke sini?”
Pria yang terlihat unik itu mengangkat wajah, “Saya tadi cuma bercanda Bu Sarah. Tidak mungkin saya hanya membawa dua kotak. Paling tidak sepuluh, di kanan lima, di kiri pun lima.”
“Nah begini, baru betul. Sana ambil.” Sarah memerintah. Ia menyandarkan tubuh di dinding, memberi ruang untuk Roberto masuk.
Baru dua kotak yang ia pegang, Roberto pun berdiam diri.