Tidak terasa akhir pekan pun tiba. Sabtu ini, jadwal mengajar Sarah tidak terlalu padat, sehingga sebelum zuhur ia sudah sampai di rumah. Dengan malas ia meraih undangan berwarna merah yang disimpan di laci nakas. Gadis itu merebahkan tubuh di ranjang, jemarinya sibuk membolak-balik surat undangan. Netra pun terpana melihat benda tersebut.
Dania menikah hari ini, tetapi Sarah sama sekali tidak ada persiapan untuk datang ke sana. Ponsel berdenting sejak tadi pagi. Gadis itu tahu. Namun, ia tak berniat mengintip pesan yang sudah terkirim berulang kali oleh Amanda dan Lena. Mereka sedang meributkan jadwal untuk bisa datang bersamaan ke acara hajatan Dania.
Berkali-kali memanggil Sarah, tetapi yang bersangkutan tak juga menggubris. Hingga akhirnya, telepon dari Amanda mengejutkan gadis yang telah membuka lembar demi lembar surat undangan tersebut. Aroma dari kertas wangi telah menyapa indra penciuman Sarah sejak beberapa menit lalu.
Sarah meraih ponsel yang tergeletak di dekat kepala. Melihat nama Amanda pada layarnya membuat gadis itu semakin malas.
“Hallo.” Pada panggilan ke tiga, barulah telepon dari Amanda dijawab oleh gadis itu.
“Sar, kamu nggak pergi kondangan Dania?” Amanda seolah tak ingat dengan kejadian buruk yang menimpa mereka terakhir bertemu beberapa hari lalu. Sikapnya kepada Sarah sangat biasa saja. Sementara gadis yang ditelepon, terkesan benar-benar tidak mood.
“Iya.”
“Barengan sama kita, enggak?”
“Kita? Siapa?”
“Ya elah, makanya baca grup, Non. Aku sama Lena udah janjian mau jumpa di sana, kita lagi bahas soal waktu. Makanya aku telepon kamu.”
Sarah memutar bola mata. Urusan pergi kondangan saja, ributnya dari pagi. “Kamu nelpon aku buat apa?”
“Ya, ngajakin kamu pergi bareng lah.” Sebuah cekikikan terdengar di akhir kalimat.
“Halah.” Sarah yang sudah sangat paham dengan tabiat sahabatnya yang satu ini.
“Suamiku baru semalam ke luar kota lagi. Jadi enggak ada partner aku.” Perempuan di balik sambungan telepon masih terkekeh.