Sarah mengetuk jendela mobil. Kaca yang sedikit gelap membuatnya jadi kesusahan untuk melihat lelaki di balik kemudi. Darahnya berdesir manakala menunggu kaca itu diturunkan. Mungkinkah Indra?
“Ya, ada apa ya, Bu?” tanya lelaki yang berperawakan seperti pria yang ia pikirkan, tetapi bukan orang sama. Indra jauh lebih tampan.
“Oh, maaf. Saya kira kenalan saya.” Sarah langsung merundukkan kepala, kemudian berlalu pergi. Ah, ternyata dugaannya sama sekali tidak benar. Kecurigaan yang dirasakan juga bukanlah sesuatu yang nyata.
Gadis itu berjalan cepat menyusul Amanda yang sudah berkumpul dengan Lena di salah satu meja tamu yang tersedia. Melihat Sarah datang, suasana seketika menjadi canggung, sebab Beno ternyata bergabung dengan meja mereka. Sebelumnya tertutup oleh tubuh Rama—suami Lena—yang duduk di sebelah lelaki itu. Mereka tampak bercengkerama dengan sangat akrab.
Beno terlihat membuang muka. Ia tak ingin bersitatap dengan Sarah, membuat gadis itu menjadi sangat keki sendiri.
“Dokter Rama, Lena, Manda, dan Bella, saya ke sana dulu, ya.” Beno menunjuk satu meja yang diisi oleh orang-orang penting. Terlihat dari pakaian yang dikenakan, hampir semua memakai jas. Ia berpamitan kepada semua orang kecuali Sarah. Terlalu kekanak-kanakan, gadis itu menelan sumpah serapah yang belum terniat ia muntahkan.
“Kenapa kalian jadi canggung gitu pas aku datang?” tanya wanita yang masih lajang di antara mereka. Manik mata Sarah bahkan menatap kepada tiga orang ini satu per satu.
Rama hampir saja bicara, tetapi pinggangnya sudah lebih dulu dicubit oleh Lena. Sehingga ia urung untuk mengatakan apa-apa.
“Onti tadi disebut-sebut.” Si kecil Bella justru yang membuka suara dengan cueknya. Ia terus mengemut lolipop yang tadi diberikan oleh Sarah.
“Bella. Jangan sembarangan bicara gitu dong.” Amanda menegur anaknya dengan kegemasan yang ditahan.
“Apa, Ma?” Gadis kecil itu memang tidak mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya. Berhubung karena musik sudah mulai mengalun kembali, Bella juga merasa terkejut dengan pelannya suara Amanda ketika marah. Hal itu sangat jarang terjadi.
Diam-diam jemari Amanda sudah merayap di pinggang sang anak. Hampir saja ia memelintir cubitan di sana, sebelum ketahuan oleh Sarah yang langsung menarik Bella ke sebelahnya.
“Jangan suka kasar sama anak sendiri,” ucap Sarah sembari duduk di tempatnya semula. Kali ini ia menengahi duduk di antara Amanda dan Bella.
Gadis itu memilih memperhatikan Bella saja. Sarah bahkan tak berniat untuk membuka pembicaraan dengan orang-orang yang ada di meja ini. Di hari bahagia salah satu sahabatnya, Sarah justru tak merasakan hal yang sama.