Siang ini terasa terik sekali, Sarah seolah malas untuk berjalan keluar dari masjid yang disinggahi. Akan tetapi, ia ingat satu hal, perkara ini sangat penting untuk segera diusut tuntas. Dengan tergesa, Sarah bangkit dari aksi berbaringnya di sudut ruangan masjid. Gadis itu memasang jilbab dengan segera, lalu melangkah panjang menuju mobil.
Indra memang tidak menghubungi, tetapi Sarah sangat yakin kalau lelaki itu sudah berada di sana. Sepanjang perjalanan, bayangan kejadian yang terlihat saat berpapasan tadi masih terngiang-ngiang di dalam pikiran. Bagaimana bisa ada orang lain yang berada di jok belakang, sementara Indra mengemudi. Apakah lelaki itu seornag sopir? Jika iya, lalu siapa lelaki yang dibawanya? Benokah?
Sarah berdecak kesal. Entah kenapa ia tak ingin percaya. Tetapi fakta yang sering ditemui di lapangan sungguh mendekati benar, jika Indra dan Beno memang ada keterkaitan.
Laju mobil mulai melambat, Sarah pun telah menghidupkan lampu sein sebelah kanan. Ia akan menyeberang dan langsung masuk ke area parkir restoran. Tidak ada tanda parkiran penuh yang dipasang oleh juru parkir.
Sarah keluar dari mobil sambil membawa perlengkapannya, setelah kendaraan terparkir dengan sempurna. Semua barang-barang pentingnya ada di dalam satu tas ransel. Gadis itu bahkan tampak tak sabar hendak segera bertemu dengan Indra.
Baru menginjakkan kaki di lantai dua, Indra sudah terlihat duduk di tempat yang sama. Ia melambaikan tangan untuk memanggil Sarah agar segera mendekat ke sana. Langkah kaki diperlebar oleh gadis itu. Wajahnya pun tampak tegang.
“Bang,” ucapnya baru saja menempelkan pinggul di kursi. Tas ransel diletakkan di bawah meja. Sorot mata Sarah terlihat sangat tajam. Napas pun tersengal sebab perjalanan menuju ke hadapan Indra benar-benar telah menguras tenaganya. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental.
“Ada apa, Sarah? Apa tidak sebaiknya kamu memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Supaya bisa lebih rileks.”
Indra mengangkat tangan. Dengan cepat seorang pelayan sudah berada didekat meja mereka, menawarkan buku menu dan menunggu Sarah untuk menyebutkan pesanannya.
“Saya pesan, teh es manis sama pecel ayam.” Gadis itu hanya melihat menu itu sekilas. Tak perlu lama jika hanya memesan dua menu sederhana tersebut.
“Itu saja?” Indra terlihat semakin bingung dengan tingkah Sarah siang ini.
“Iya.” Gadis itu menjawab dengan pendek. Manik matanya tak lepas memindai Indra yang kian tak enak dengan tingkah lakunya.
“Ah, oke.” Pria itu tersenyum. Ia lalu mengangguk kepada pelayan restoran. “Iya, sudah Mbak. Itu saja.”
Sang pelayan pun bergerak menjauh, meninggalkan dua insan yang tengah sibuk dengan pemikiran masing-masing.
“Bang.” Gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, sehingga bagian atas perutnya menempel di sisi meja.