Empat hari telah berlalu, Sarah dan Indra memang kian intens dalam berkomunikasi. Hubungan mereka bisa dikatakan semakin dekat saja. Meski tidak pernah berjumpa lagi, sebab kesibukan yang tengah mengungkung Indra. Akan tetapi, lelaki itu sangat sering menghubungi. Indra bahkan memberitahukan kepada Sarah, bahwa keluarganya sudah tiba di Padang. Ada beberapa foto yang dikirimkan kepada gadis itu.
Sarah percaya saja, padahal tidak ada Indra di dalam foto-foto yang telah dikirimkan kepadanya. Gadis yang telah sangat matang ini benar-benar terlena dan terbuai oleh panah asmara yang ditancapkan oleh Indra ke hatinya. Sikap Sarah saat ini bahkan lebih parah daripada ABG labil yang mudah tergoda.
Pagi tadi Indra telah menghubungi dan mengatakan bahwa mereka sekeluarga akan datang ketika jam makan siang. Dengan senang hati, keluarga Sarah siap menyambut. Sejak pagi mama, Tante Mirna, dan Sarah sudah sibuk di dapur. Sementara Papa membersihkan halaman yang sama sekali tidak berserakan.
Keluarga Sarah telah bersiap-siap dan menunggu kedatangan tamu istimewa mereka sejak pukul sebelas. Namun, hingga waktu zuhur sudah terlewati satu jam lebih, Indra dan keluarganya tak kunjung datang. Ponsel lelaki itu juga tidak lagi aktif. Sarah sampai kebingungan ke mana harus mencari orang tersebut. Ia juga tak tahu alamat pasti Indra.
“Papa mau istirahat dulu di kamar, ya, Ma.” Terdengar suara Pak Darta diiringi langkah yang kian menjauh. Beliau sangat kecewa, itu sudah pasti. Saat ini waktu telah menunjukkan pukul lima sore. Tetapi yang ditunggu-tunggu tidak juga sampai.
“Iya, Pa.” Mama menjawab dengan suara lemah. Bu Ayusita dan Tante Mirna kini duduk di sofa, menemani Sarah yang masih berharap Indra akan datang. Setidaknya memberi kabar melalui chatting pun tidak masalah baginya.
Manik mata gadis itu terus menangkap layar ponsel. Berulang kali bolak-balik melirik ruang chatting antara dirinya dan Indra. Namun, tak jua menemukan hasil yang diinginkan.
“Maafkan Sarah, Ma, Tante.” Pada akhirnya Sarah pun menyerah. Seharusnya ia tak mudah percaya kepada orang lain. Padahal, sudah jelas banyak fakta yang memperlihatkan kejanggalan antara Beno dan Indra. Walau belum dapat ia buktikan dengan pasti, tetapi Sarah sangat yakin, memang Beno orang yang berada di balik ini semua.
“Sudahlah, Sarah. Tidak perlu kamu pikirkan.” Tante Mirna merangkul keponakannya itu. Beliau mencoba menguatkan.
“Seharusnya Sarah memang mendengar apa yang Tante bilang sedari awal.” Gadis itu pun lalu menangkup wajah. Ia malu sekaligus marah sekali rasanya. Tetapi tak mungkin diluahkan kepada keluarganya sendiri.
“Makanannya nanti kita bagikan saja ke orang-orang yang membutuhkan biar tidak mubazir,” usul Bu Ayusita. Sebagai orang tua, mama Sarah memang terbilang cukup bisa menyembunyikan rasa kecewa. Tetapi beliau sebenarnya orang yang ceplas-ceplos di waktu-waktu tertentu.
“Iya, Uni. Biar nanti saya saja yang membungkusnya. Uni istirahat dulu di dalam kamar, masih ada waktu yang tersisa sebelum magrib tiba.” Tante Mirna kembali menoleh kepada Sarah. “Kamu juga Sarah, istirahatlah di dalam kamar.”
Sarah menggeleng. “Enggak. Sarah akan bantu Tante lalu pergi keluar membagikan makanan ini.”