Tiga hari telah berlalu, Sarah kembali dihadapkan pada satu kenyataan yang membuatnya sedikit banyak merasakan sakit yang sama lagi. Padahal sudah hampir berhasil mengobati hati, tetapi pagi ini ada sebuah pesan yang masuk ke ponselnya dari nomor tak dikenal.
[Hallo Sarah. Lama tidak memberi kabar kepadamu. Ah, iya, baru juga tiga hari, tetapi rasanya sangat lama sekali. Saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya kepadamu, Sarah. Kesalahan saya adalah telah memberimu begitu banyak harapan, sementara kenyataannya tidak ada satu pun yang dapat saya wujudkan. Sebab, saya telah memiliki keluarga, istri dan sepasang anak. Kamu bisa melihatnya di foto yang ada di atas. Saya sangat mencintai istri dan anak-anak saya. Maafkan saya telah bermain-main di hatimu. Saya mohon lupakan saya, Sarah. Setelah mengirimkan pesan, nomor ini tidak akan aktif lagi. Semoga kamu berbahagia selalu, Sarah. Salam Indra.]
Sarah hanya bisa memaksakan diri untuk tersenyum. Benar-benar pemain sandiwara yang sangat hebat lelaki itu. Ia telah berhasil memperdaya Sarah dengan tipu daya dan keseriusan yang terlihat nyata. Berkali-kali gadis itu mengusap dada.
“Enggak, aku enggak boleh terprovokasi. Terserah saja dia mau melakukan apa dan mengirimkan apa pun kepadaku. Dia enggak penting, Beno juga enggak penting. Siapa pun yang telah menyakitiku, enggak penting!” Sarah baru akan mematikan mesin kendaraan saat sampai di parkiran kantor. Ia juga mengurungkan niat untuk keluar dari mobil, meski jam masuk kerja hanya tersisa lima menit lagi.
Gadis itu benar-benar sangat perlu untuk menenangkan diri. Bagaimana ia akan bekerja dalam kondisi perasaan yang tidak baik seperti sekarang. Di kantor ini memang tidak ada yang mengetahui perihal kejadian buruk yang menimpanya. Tak pula Mira yang terbilang sangat dekat dengannya. Sarah sungguh piawai menyembunyikannya dari banyak orang.
Selang lima menit kemudian, Sarah keluar dari mobil. Hanya tersisa beberapa detik dari jadwal check lock absen, setelahnya Sarah akan tercatat terlambat dan gajinya akan kembali dipotong sekian persen. Gadis itu tampak tak peduli. Ia tetap berjalan santai sambil terus menghela napas dalam.
“Kamu telat, Sar?” tanya Mira ketika melihat Sarah duduk di tempatnya.
“Iya, Uni.” Sarah hanya menoleh sekilas. Sembari meletakkan tas di bawah meja, ia pun memencet tombol power pada CPU komputernya.
“Tumben? Biasanya kamu kalau telat nggak bakalan masuk ….”
“Aku tadi sedikit pusing, Un.” Gadis itu segera memotong ucapan Mira. Tingkah polah Sarah hari ini berhasil membuat teman satu komisionernya bertanya-tanya.
“Kamu sehat-sehat aja ‘kan? Kalau memang sakit, sebaiknya jangan dipaksakan kerja, Sar.”
“Enggak apa-apa Uni. Aku enggak enak sama Uni yang selalu menggantikan dan mengerjakan pekerjaanku.”
“Heleh, apaan? Biasa aja keles, Sar. Lagipula aku senang mengerjakan pekerjaan selama enggak disuruh keluar.” Mira tertawa kecil. Ia mengintip Sarah dari balik layar komputer. Wajah gadis itu memang terlihat kurang bersemangat.
“Aku kerja dulu, Un.”
Lagi-lagi tidak seperti biasanya, Sarah malah mendahului semua orang untuk bekerja. Meski merasa sangat heran dan bingung, tetapi Mira tidak ingin mengusik ketenangan Sarah kali ini.
***