[Bintang … Aku mencintai kelasmu, kamu membantuku ‘tuk melihat. Bahwa untuk hidup bahagia, belajar adalah kuncinya. Kamu Memahami muridmu, kamu perhatian dan pandai. Kamu guru terbaik yang pernah ada. Aku tahu itu dari awal kita bertemu. Aku memperhatikan kata-katamu. Kata-kata dari seorang guru sejati. Kamu lebih dari teladan terbaik. Sebagai guru, kamu adalah bintang. Karya Khairil Anwar]
Walau sebelumnya Sarah sok jual mahal, tidak mau menerima kertas kecil yang diberikan oleh Roberto. Nyatanya setelah membaca puisi tersebut, ia pun sanggup tersenyum dan di dalam hatinya bunga-bunga yang sudah layu itu terasa kembali bermekaran.
Tante Mirna yang tak sengaja melihat, menjadi terheran-heran dibuatnya. Sarah baru sampai rumah, tetapi tak langsung keluar dari mobil meski telah masuk ke garasi. Gadis itu sangat penasaran dengan kertas yang diselipkan secara diam-diam oleh mahasiswa yang sering membuat tensinya naik. Lelaki bergaya era tujuh puluhan, yang menjadi salah satu anak kos Ibu Maya, tetangga lima rumah sebelah kanan.
Ternyata apa yang telah dikatakan oleh Roberto mengenai bentuk apresiasi dan dukungan kepada Sarah adalah benar adanya. Tanpa disadari, sang dosen pun terobati juga dari luka menganga yang disayatkan oleh seorang pecundang.
Tante Mirna mengetuk kaca pintu mobil yang tingkat kejernihannya hanya tiga puluh persen, tetapi masih dapat memperlihatkan dengan jelas aktivitas orang di dalam kendaraan tersebut. Sarah terkejut. Ia buru-buru mengangkat wajah sembari tangan memasukkan kertas tadi ke dalam saku blazernya.
“Iya, Tante,” ucap gadis itu seraya keluar dari mobil.
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri? Sudah sembuh?” Tante Mirna mengamati keponakannya dengan seksama.
“Apaan sih, Tan? Memangnya Sarah sakit?” Gadis itu hanya tertawa masam. Jempolnya sudah memencet remote mobil, bermaksud mengunci pintunya. Lalu berjalan ke dalam rumah, melewati sang tante yang masih sangat penasaran dengan ‘obat’ yang dibaca oleh Sarah, sehingga mampu membuatnya tersenyum kembali.
“Sarah, Tante penasaran sama apa yang tadi kamu baca? Dapat surat cinta? Atau puisi lagi dari mahasiswamu?” Si Tante mengikuti keponakannya dari belakang. Lalu membentur punggung Sarah ketika gadis itu menghentikan langkah sebelum menuju pintu.
“Kok Tante bisa tahu?” Dengan bingung Sarah membalik tubuh. Ia merasa Tante Mirna memiliki suatu bakat yang cukup bagus, semacam kepandaian menebak peristiwa dengan tepat.
“Apanya? Surat cinta?” tanya sang tante sembari mengusap dahinya yang terantuk tulang punggung Sarah.
“Bukan.” Sarah menggeleng. Sebelah tangannya sudah masuk ke dalam saku blazer, meraih kertas yang tadi telah berhasil membuatnya tersenyum. Lalu memperlihatkan kepada Tante Mirna. “Ini loh, Tan. Kenapa Tante bisa menebak soal puisi ini?”
“Lah ‘kan kamu pernah pamerin puisi juga ke Tante, gimana sih? Menebak begini saja bukan persoalan rumit Sarah.” Tante Mirna menjawab sembari menyambar kertas itu. Kemudian membacanya dengan seksama.
“Siapa yang menulisnya, Sar?” tanya sang Tante beradu pandang dengan keponakannya yang masih berdiri mematung di hadapan.