“Ya Allah, Sar. Kamu enggak lihat sih betapa lucunya Dokter Ali itu. Dia menceritakan sesuatu hal yang membuat Tante sakit perut.” Tante Mirna terus saja tertawa saat bercerita. Ketika wanita yang sudah menjanda itu mencoba mengulangi kisah kancil dan siput yang diceritakan oleh Ali kepada Sarah, sama sekali tidak membuat keponakannya tertawa.
“Kenapa kamu enggak ketawa, Sarah?” tanya sang tante dengan gelak yang masih berderai.
Gadis yang masih mengenakan seragam kantor menggeleng. ”Enggak lucu sama sekali, Tan.” Sarah tidak tega untuk mengatakannya, tetapi apa boleh buat. Memang nyatanya tidak ada yang lucu.
"Coba deh, kamu dengar Dokter Ali langsung yang cerita.” Perlahan Tante Mirna mulai menghentikan tawanya. Wajah wanita itu sudah memerah, mata pun berair karena tidak kuasa menahan gelaknya sendiri.
“Ya sudah, Sarah ke kamar, ya, Tan. Mau mandi dulu, gerah sangat.”
Tante Mirna mengangguk. Ia merasa lelah sendiri dengan aksi tertawa tak henti sejak tadi. Adik Ibu Ayusita pun bergerak menuju ruang sebelah untuk menonton televisi. Ia ingin merebahkan tubuh sembari menyaksikan siaran kegemaran di salah satu stasiun televisi nasional.
Baru selesai mandi, gawai Sarah bergetar. Ada panggilan masuk dari Ali. Kebetulan sekali orang ini menelepon. Sarah sejak tadi ingin menghubungi, tetapi tidak sempat karena sesampainya di rumah harus mendengarkan cerita Tante Mirna terlebih dahulu.
“Assalamualaikum Sarah.” Lelaki ini seperti tidak pernah kehabisan tenaga, selalu terdengar energik.
“Waalaikumsalam, Dokter Ali.”
“Jangan panggil Dokter Ali begitu, kesannya terlalu kaku.”
“Terus, aku manggilnya gimana?”
“Karena mulai sekarang kita adalah teman, bagaimana kalau kamu manggil Ali saja. Kita ngomongnya santai aja.”
Sarah mengangguk-anggukan kepala. “Iya, bolehlah. Tapi, beneran enggak apa-apa manggil Ali aja, jangan-jangan kamu lebih tua dari aku.”
“Sudahlah, jangan terlalu formal. Meski berapa pun usiaku, semuanya hanya sebatas angka yang tak bermakna.” Ali tertawa di seberang sana, membuat Sarah pun ikut mengulas senyum di bibir.
Pria ini karakternya heboh, pastilah jika bersamanya tidak akan pernah ada kesedihan yang terasa. Tetapi lagi-lagi Sarah menggeleng. Tidak, jangan secepat itu memutuskan segala sesuatu.
“Kamu sudah sampai di rumah?” tanya Ali.
“Sudah. Oh iya, maafkan seharian aku enggak angkat telepon kamu. Tadi sibuk banget di kantor. Kerjaan numpuk.”
“Oh, enggak masalah. Sarah, aku mau ajak kamu dinner mau nggak? Aku jemput.”
Sarah terkejut. Ia bahkan sampai menelan saliva berkali-kali karena merasa sangat syok dengan sikap Ali yang ceplas-ceplos.