Baru juga membuka mata, layar ponsel Sarah sudah berkedip-kedip. Gawai itu sebelumnya telah disetel dengan mode jangan ganggu, sehingga menyebabkan tidak adanya bunyi ataupun getaran yang ditimbulkan saat ponsel menerima pesan atau telepon masuk dari luar.
Sarah kebetulan sudah duduk dan tak sengaja melihat ke arah nakas. Setelah membaca nama yang tertera, gadis itu pun segera meraih benda pipih itu. Subuh-subuh buta, Ali sudah menghubunginya.
“Assalamualaikum, Sarah.”
Sarah sudah bisa membayangkan bagaimana wajah rupawan ini saat mengucapkan salam dan menyebut namanya. Ali pasti tengah tersenyum lebar, sehingga menyebabkan matanya pun menyipit.
“Waalaikumsalam, Al.” Sementara Sarah menjawab dengan suara sedikit parau karena baru saja bangun.
“Hei wake up. Ini udah pagi, kamu telat salat Subuhnya.”
Gadis itu lantas melirik jam di dinding. Baru juga pukul lima tepat, belum telat-telat betul.
“Masih subuh, Al. Aku biasanya bangun jam segini.”
“Jadwal salat Subuh untuk Kota Padang dan sekitarnya sudah bergeser jauh loh, Sarah. Pukul empat lewat tiga puluh delapan menit. Artinya kamu sangat telat.”
Hah! Sarah melongo. Telat bagaimana? “Kan masih gelap, malaikat juga masih ada di bumi.” Gadis itu tak ingin kalah.
“Ini pemikiran yang salah, Sar. Coba deh kalo misalnya gini, kamu pergi kerja pasti selalu buru-buru ‘kan, karena takut telat? Soalnya kalau sampai terlambat sedetik aja, udah kena potongan, iya ‘kan?”
Otak Sarah pun segera merespon setiap kata yang diucapkan oleh Ali, lalu mulut menjawab, “Iya.”
“Coba bayangkan gimana perasaan Allah, ketika kita melalaikan panggilan untuk menghadap kepada-Nya. Padahal Allah itu pencipta kita loh, Dia-lah yang memberi kita rezeki dan segala nikmat yang ada di dunia ini.”
Gadis itu menggaruk kepalanya sendiri. Baru juga bangun sudah mendapatkan kuliah tujuh menit dari Dokter Ali.
“Kenapa kita lebih takut sama kebijakan yang bersifat duniawi? Sementara hukum Allah yang jelas-jelas akan membinasakan kita di tempat yang abadi kelak diabaikan?” Ali menjeda ucapan. Seperti menunggu tanggapan dari Sarah.
“Kamu tahu kenapa, Sarah?” Pertanyaan itu terlontar sebab Sarah tidak juga menanggapi. “Karena iman yang kurang di dalam dada. Itu saja sih alasannya, kenapa manusia seringkali abai bahkan lalai dalam beribadah kepada Tuhannya. Terkhusus kita kaum muslim, sangat amat banyak yang melalaikan salat. Saat mendengar suara azan ketika sedang asyik bekerja, hanya sedikit dari kita yang meringankan kaki untuk melangkah ke tempat ibadah.”
Sarah benar-benar tertampar. Pria ini memang sangat luar biasa. Meski terkadang yang namanya manusia masih tak pernah luput dari dosa dan maksiat, tetapi Ali seolah terus berusaha bertobat dan memperbaiki diri.