“Sarah. Apa kamu sudah menerima bingkisan dari aku?” Ali selalu saja terdengar ceria. Ia tidak tahu kalau upayanya memberikan kejutan kepada Sarah sangat berhasil. Gadis itu memang benar-benar terkejut dengan hadiah yang dikirimkannya.
“Ali … kenapa kamu enggak ngomong dulu kalau mau ngasih hadiah kayak gini. Malah enggak ada nama pengirimnya lagi. Duh.”
“Aku ‘kan mesannya di marketplace gitu. Tapi bukan yang diskon atau mendapat potongan harga, ya.” Lelaki itu terkekeh. “Tadinya aku mau menghadiahi kamu mukena, Al-Qur’an, terus tasbih, sajadah juga. Kupikir-pikir kalau dibeli satu-satu, entar kamu yang repot bukanya. Ya udah, sekalian aja aku beli yang paketan, jadinya gitu, deh.”
Sarah kembali mengamati kotak mahar yang berisi seperangkat alat salat beserta Al-Qur’an cantik yang bertuliskan nama Sarah Monika. “Kamu tahu darimana nama kepanjangan aku?”
“Tante Mirna.”
“Sudah kuduga.”
Berhadapan dengan Ali menjadikan Sarah seperti pengidap asma saja, sebentar-sebentar menghela napas dalam. “By the way, makasih, ya, Al. Paketnya aku suka banget. Meski warnanya putih, semuanya putih, cuma Al-Qur’an aja yang gold, tapi aku seneng banget.”
Sejujurnya Sarah tidak terlalu menyukai warna yang melambangkan kesucian tersebut. Sebab, jika kotor akan terlihat dengan jelas.
“Aku juga sengaja memilih warna itu, meski aku tahu kamu suka sekali warna-warna dark. Tapi aku ingin kamu memulai untuk menatap warna yang cerah, terlebih putih.”
“Kenapa?”
“Karena putih adalah warna kesukaanku.” Ali tertawa besar di seberang sana.
“Ya … ya.” Tampaknya Sarah harus lebih piawai menghadapi Ali. Jangan sampai ia selalu terkecoh dan ditertawakan seperti ini. Namun, meskipun demikian lubuk hati Sarah yang paling dalam sangat senang diperlakukan seperti itu. Seolah ia menemukan wadah untuk bisa menertawakan diri sendiri. Sehingga gadis tersebut dapat menyadari bahwa dirinya tidaklah sesempurna personal branding yang telah dibangun selama ini.
“Jangan lupa dipakai, ya, Sar. Biar aku juga kecipratan pahalanya,” ujar Ali terdengar penuh pengharapan.
“Iya, pasti. Makasih loh.”
“Iya, sama-sama Sarah.”
Sarah baru akan memutus sambungan telepon, tetapi ternyata pria yang menghubungi belum selesai bicara.
“Sabtu nanti, kamu ada jadwal ngajar enggak?” tanyanya kemudian.
Sarah mencoba mengingat-ingat jadwalnya sendiri. “Sepertinya ada, empat SKS. Dari jam delapan sampai jam sepuluh.”
“Jam sebelasnya kita pergi jalan-jalan, yuk.”
Kelopak mata Sarah berkedip beberapa kali. Ia kembali terkejut. Cara lelaki ini mengajak sangat to the point. Tak perlu menanyakan hal lain yang akan dilakukan Sarah setelah pulang mengajar.
“Ke—ke mana?”
“Kenapa jadi gugup begitu? Aku hanya ingin mengajak kamu berpetualang mendaki gunung lewati lembah. Pokoknya perjalanan ini akan sangat menyenangkan.”