Balada Perawan Tua

Da Pink
Chapter #41

#41. Puncak Mandeh Menjadi Saksi

“Ayo, Sar. Nanti keburu sore. Kita harus tiba di tempat berikutnya sebelum azan ashar.” Ali kembali menaiki sepeda motor. Ia bahkan langsung mengenakan helm. Sarah juga melakukan hal yang sama, mengenakan jaket, sarung tangan, masker, dan helm.

Gadis itu telah kembali naik ke atas sepeda motor. Ia duduk sembari memegang ponsel. Menurut Ali jalan yang mereka lalui kali ini tidak seterjal tadi. Sehingga memungkinkan bagi Sarah untuk merekam perjalanan yang menyuguhkan pemandangan alam yang sangat indah. 

Tak sampai tiga puluh menit, Ali kembali memarkirkan kendaraan. Sarah yang sempat bingung lantas mengangguk ketika netranya menangkap plang yang bertuliskan Puncak Mandeh. Simbol hati mengelilingi tulisan tersebut.

“Inilah Puncak Mandeh itu. Dari sini, kamu bisa melihat semua yang kita lalui tadi dengan sempurna. Jalan yang berliku, laut dengan pulau-pulau kecilnya, juga bukit-bukit yang ikut mengapit aspal.” Ali sudah seperti tour guide saja. Ia memperkenalkan satu per satu tempat yang selalu membuat Sarah takjub.

Meski plang ini tampak sederhana saja, tetapi di sinilah Puncak Mandeh yang terkenal itu. Sarah berdiri dua langkah dari plang. Ia takut ketinggian, tak ingin terlalu dekat dengan bibir tebing. Kebetulan sekali tempat ini tidak begitu banyak disinggahi oleh pengunjung, rata-rata mereka hanya berlalu saja.

“Sarah.” Ali memanggil. Suaranya terdengar serius, membuat wanita yang disebut namanya merasa canggung. Perlahan Sarah berbalik.

“Ya.” Manik mata gadis berkerudung biru tua, menangkap raut yang jarang bahkan nyaris tak pernah tampak dari wajah rupawan Ali. Degup jantung Sarah menjadi tidak karuan. Saat ini yang ada di dalam pikiran hanya dua. Antara hidup atau mati. Jika Ali tidak kerasukan setan, pria itu pasti tak akan mendorongnya ke bawah sana.

Sarah menelan saliva ketika Ali mendekati. Langkah pria itu terlihat mantap. Ia meraih lengan perempuan yang telah mengambil hati agar menjauh dari bibir tebing. “Jangan terlalu dekat ke tepi.”

Sarah lalu menarik napas lega, kemudian membuangnya perlahan.

“Sar. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”

Mereka sudah kembali berdiri di sisi sepeda motor. Tangan Ali yang semula bingung hendak menggapai apa, akhirnya hanya mendarat di setang Kawasaki Ninja berwarna hijau.

“Apa?” Sarah merasakan atmosfir yang sudah sangat berbeda. Mungkin karena lokasi mereka saat ini berada di tempat tertinggi yang bisa dijamah manusia.

“Kamu pasti masih sangat ingat dengan ucapanku, tentang hubungan pertemanan yang ingin kujalani denganmu?”

Sarah mengangguk.

Lihat selengkapnya