Sarah terus mencoba mengingat sosok yang saat telah berdiri, lalu mulai berjalan mendekatinya. Dari kantong celana pria itu terlihat ia keluarkan sesuatu.
“Kendine iyi bak ve gelmemi bekle,” ucapnya sembari memperlihatkan benda dalam genggaman ke arah Sarah.
Gadis itu mengernyitkan dahi. Ia merasa bingung dengan kalimat yang diucapkan oleh si Lelaki gagah. Manik mata Sarah turun ke arah genggaman tangan pria itu, dilihatnya kaca mata lensa bening dengan gagang berwarna hitam tebal yang biasa dikenakan oleh Roberto.
“Ini punya Roberto ‘kan?” tanya Sarah, berkali-kali menatap secara bergantian pada kaca mata dan juga pria di hadapan.
Lelaki itu mengangguk. “Iya ini punya Roberto.” Kemudian bibirnya membentuk lengkungan tipis.
Mata Sarah nyalang. Entah kenapa, ia jadi memikirkan hal yang tidak-tidak. “Apa yang terjadi dengan Roberto?” Gadis itu bahkan terlihat khawatir. “Ucapan dalam bahasa asing yang kamu katakan tadi, sama dengan yang ditulis Roberto di kertas itu. Apa artinya?” Sarah menambahkan. Ia langsung saja teringat dengan tulisann mahasiswa uniknya itu.
Pria itu masih saja tersenyum. “Ini tugasmu, mencari jawabannya sendiri.” Ia lantas memutar kepala ke arah mama dan papa Sarah yang juga ikut berdiri, sembari melempar senyum bahagia ke arah mereka.
Sarah langsung menggeleng. “Enggak, katakan aja apa susahnya?” Pikiran gadis itu sedang berkecamuk, tidak bisa fokus memikirkan apa pun sekarang. Ia sendiri tidak mengerti, entah sejak kapan mulai mengkhawatirkan Roberto. Bukankah pria unik dengan dandanan tahun tujuh puluhan, plus minatnya pada segala sesuatu yang berbau legenda dan kuno itu sangat menyebalkan. Seringkali membuatnya naik darah dan uring-uringan tidak jelas.
“Katakan, apa yang terjadi dengan Roberto? Kenapa kaca matanya ada sama kamu?” Sorot mata Sarah semakin menajam. Netra itu pun sudah memerah, seakan tak kuasa menahan hangatnya air yang menumpuk di pelupuk mata.
Pria di hadapan masih tidak menjawab. Ia terus saja bergeming sambil menimang-nimang kaca mata mahasiswa unik Sarah itu.
“Kenapa kamu diam aja? Katakan, apa yang terjadi?” Gadis itu meraih bagian dada kemeja yang dikenakan si Pria, lalu menariknya berkali-kali. Sarah sangat geram dengan tanya yang tak juga dijawab. Satu tetes air berhasil lolos dari pertahanan.
“Sarah. Apa-apaan kamu?” Bu Ayusita segera mendekat, lalu melepaskan tangan Sarah dari kemeja lelaki gagah di hadapan.
“Mama tahu. Kaca mata itu adalah milik salah satu mahasiswa Sarah. Dia sangat unik, tetapi paling perhatian kepada Sarah.” Bungsu dua bersaudara dari pasangan Darta dan Ayusita ini menatap ibunya sambil berurai air mata. Membuat orang yang hadir di ruangan itu heran dengan sikap yang ditunjukkan olehnya.
“Ada apa dengan Roberto? Kenapa kamu sampai menangisinya seperti ini?” tanya Bu Ayusita sambil memegang kedua bahu Sarah. Sementara gadis itu menunduk, ia tak kalah bingung dengan apa yang dirasakan saat ini.
“Entahlah.” Sarah bergumam sembari menggelengkan kepala berkali-kali.
Tak lama, lelaki gagah tadi memegang lengan Bu Ayusita lembut, lalu mengangguk. Ia menggantikan posisi berdiri mama Sarah yang beranjak ke sebelah.
“Roberto itu adalah saya.”
Jawaban dari pria itu membuat Sarah tersentak, mengangkat wajah, lalu menatapnya dengan sorot tak percaya. “Terima kasih sudah peduli, Bu Sarah.”
“Jangan mengarang kamu. Suaranya tidak seperti ini. Kalian bukan orang yang sama.”
Lelaki itu kemudian berdehem, lantas mengucapkan kalimat asing itu kembali. Seketika Sarah pun menganga. Ia sangat yakin, jika suara tadi memang benar-benar milik Roberto, terdengar lebih berat.
“Siapa kamu sebenarnya?” tanya gadis itu sembari menghapus sisa air mata di pipi.