BEBERAPA minggu sebelum Jarot dimasukkan ke ruang isolasi, ia sering diejek idiot. Tak dipungkiri itu karena wajahnya yang “bengkak dan aneh.” Bentuk kepalanya kecil dengan kulit muka keriput, mulutnya kecil sangat tak proporsional dengan luas wajah, hidungnya pesek, datar, dan lebar, matanya besar dengan jarak antara kedua matanya lebar, dahinya ciut, dan rahangnya amat besar.
Barangkali sebutan idiot terdengar kelewat kasar, tapi bagi Jarot sendiri ia tak ambil pusing selagi yang mengucapkannya tak niat mengejek! Bagaimanapun ia tak suka ucapan kasar dan menghina! Setolol apapun otaknya, serendah apapun IQ-nya, Jarot tetap tahu mana orang yang mengejek, mana yang sekedar mengajaknya bercanda. Termasuk kejadian hari itu, saat ia duduk sendiri di trotoar jalan.
“He idiot!!” Tiba-tiba ia mendengar teriakan itu dari arah belakang.
Si pengejek meledek dengan mulut nyengir, dan kedua telapak tangan bergoyang-goyang di samping telinga, masih ditambah dengan kepala bergoyang-goyang dan lidah menjulur-julur bak mulut anjing kampung yang kepanasan. Ia bersama teman-temannya, segerombol anak jalanan yang salah satunya seperti Jarot kenal.
“He idiot, monyet!!” tambah temannya yang Jarot seperti kenal. Ia mengingatnya, dan alangkah kegetnya dia, bukankah lelaki itu yang kemarin ia kencingi saat makan di warung.
“Hahaha,” Jarot tertawa girang mengingat peristiwa itu.
Persoalannya sepele, saat antri karena warung itu ramai bukan main, dia didorong mundur oleh lelaki itu, dan antriannya direbut. Jarot menggeram marah. Ia beringsut pergi, namun saat lelaki itu hendak memakan nasinya, Jarot tiba-tiba naik ke atas meja, dan begitu saja kencing di makanan lelaki itu.
Ia ingat betul wajah lelaki itu, air mukanya langsung merah, dan sebelum semua berlanjut, dalam satu gerakan cepat Jarot memukul hidung lelaki itu hingga berdarah. Nyonyor, dan patah.
Jarot ngeloyor begitu saja, berlari cepat. Mereka mengejar tetapi lari Jarot yang seperti setan dan kepandaiannya bersembunyi membuatnya hilang jejak.
Tapi kini lelaki itu menemukannya! Dasar pengecut, ia mengajak teman-temannya untuk mengeroyok Jarot.
“Ayo idiot, berlagak pilon loe!”
Jarot menahan diri, terus berjalan sambil bersiul-siul, menenangkan diri.
“Idiot bencong hanya berani bersiul, hahaha!”
Mereka mulai tertawa terbahak-bahak, dan sangat gaduh, Jarot mulai tak tahan. Apalagi sebutan bencong membuat kejantanannya terusik! Ia menoleh ke belakang. Mereka bergoyang-goyang meniru gerakan kawanan monyet.
“Idiot edan, idiot gila!”
“Sudah idiot, edan, juga bencong!” teriakan mereka lagukan: “Su - dah -- i – de – ot, gen – dheng, – ju – ga - ben–cong, mo -nyet!”
Lagu itu mereka ulangi lagi.
“Su - dah -- i – de – ot, gen – dheng, – ju – ga -- ben –cong, mo-nyet!” Irama itu bernada jenaka namun bagi Jarot terdengar sangat menyakitkan.
“Asu, anjing kalian!” Jarot mengerang marah.
Ia membalikkan tubuhnya. Tangannya mengepal siap memukul. Bahunya sedikit membungkuk membuat tubuhnya yang memang terbilang pendek untuk orang seusianya jadi tampak gempal. Kepalanya yang kecil memasang aksi menyeruduk seperti banteng menatap nyalang secarik kain merah. Kulitnya yang keriput makin terlihat kusut. Mulutnya yang mengecil menganga penuh air liur yang sebagian merembes keluar dari sudut bibirnya, ngiler.
Hidung Jarot yang pesek, datar, dan lebar mengempis-ngempis bak babi yang kelaparan. Mata sipitnya jadi garis hitam. Jarak antara kedua matanya yang memang lebar ketimbang orang umumnya jadi merapat erat seperti dua sejoli yang hendak kawin minggat. Tangan dan ruas jari-jarinya pendek mencengkram siap mengamuk!
Mulut Jarot makin mengerut aneh membuat air liur makin banyak keluar dari sela-sela bibirnya, mengalir hingga ke dagunya yang persegi. Paras Jarot yang ‘bengkak” dengan dahi yang menciut dan rahang membesar yang sesungguhnya saat marah jadi tampak mengerikan, tapi bagi si pengejek dan kawan-kawannya itu tambah terlihat menggelikan dan tolol!
Mereka tak ambil peduli! Gerombolan itu telah siap dengan batu-batu yang mereka sembunyikan di balik punggung. Jarot juga tahu mereka membawa batu, tapi ia tak takut, ia selalu ingat dan meyakini kata-kata bapaknya.