Pagi itu sama saja seperti hari-hari sebelumnya di musim panas tahun lalu yang biasa terjadi di Desa Alas Harum. Sebuah desa kecil yang masih asri, damai, dan penuh ketenangan di kawasan Bali Utara dengan wilayah di kelilingi perbukitan serta hamparan persawahan, ladang jagung serta sayur-mayur. Jadi sangat wajar jika udaranya terasa sejuk, menyegarkan, dan bebas polusi dari corong-corong panjang mesin peminum jasad-jasad hewan purba.
Tidak hanya itu saja, Desa Alam Harum juga terkenal dengan penduduknya yang ramah. Saling menyapa saat berpapasan dengan siapa saja. Tanpa mempedulikan kasta dan strata ekonomi. Saling menghormati baik yang tua maupun yang muda. Sebab itulah, mereka memakai bahasa Indonesia dalam kesehariannya sebagai bentuk kesetaraan. Terkecuali jika ada pertemuan di Balai Banjar dan ibadah keagamaan di Pura Desa, barulah memakai bahasa Bali.
Gambaran suasana seperti itu sudah menjadi pemandangan yang lumrah terjadi di Desa Alas Harum. Ketika banyak penduduk desa yang akan memulai aktivitasnya untuk berangkat ke sawah ataupun ke ladang. Di mana kebanyakan dari mereka lebih memilih berjalan kaki dan bersepeda gayung. Sehingga jarang terlihat ada kendaraan bermotor yang melintas. Hanya beberapa saja dan itu pun tidak berseliweran seperti lalat. Biasanya sih, mereka yang naik motor adalah para PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Kantor Kepala Desa atau tenaga kesehatan di Puskesmas.
Di antara lalu-lalang para warga yang hendak beraktivitas dan kesibukan jalan desa yang padat, terlihatlah seorang pemuda berambut ikal panjang dengan memakai kaus putih dan celana jeans pendek biru tua yang sedang mengendarai sepeda jengki. Dia terlihat buru-buru untuk menuju ke suatu tempat. Hingga hampir beberapa kali menabrak para pejalan kaki yang memenuhi jalan. Baik di sisi kiri maupun di sisi kanan. Walaupun begitu dia masih tetap saja ngebut tanpa sedikit pun mengurangi kecepatannya. Sehingga banyak warga desa yang menoleh dan memanggil-manggil namanya. Tapi, dia tidak mengacuhkan panggilan tersebut.
Namun, ketika hendak berbelok ke kanan. Tepat sebelum menikung di antara ladang jagung yang berada di kedua sisi jalan desa. Tiba-tiba muncul seorang perempuan berkepang satu dengan memakai sweater dan celana panjang berbahan katun yang tampak lusuh hendak menyeberang. Sehingga membuat dirinya harus mengerem secara mendadak karena kaget setengah mati.
"Arya!" Teriak perempuan berkepang satu itu ketika nyaris ditabrak oleh sosok yang sangat dia kenal.
"Luh, maaf. Aku sedang buru-buru. Jadi — "
"Iya, buru-buru sih boleh. Tapi, lihat-lihat juga, dong," potong sosok perempuan itu yang biasa dipanggil Luh Sri oleh para warga desa.
"Ma-maaf."
"Iya, aku maafkan. Tapi, kamu mau ke mana, sih? Kok, pagi-pagi gini sudah buru-buru banget," tanya Luh Sri dengan tatapan menelisik.
Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Di terlihat ragu dan bingung untuk menjawab pertanyaan tersebut, karena ingin menutupi tujuan sebenarnya. "Luh, nanti saja aku ceritakan semuanya. Karena saat ini aku sedang buru-buru." Sambil kembali mengayuh pedal sepeda setelah sedikit membelokkan setang ke kiri, agar tidak mengenai Luh Sri.
"Ehh ... Arya!" Kesal Luh Sri yang merasa dikacangi dan ditinggal begitu saja.
"Maaf!" Balas Arya sebelum menghilang di belokan.
"Dasar laki-laki tidak punya hati," omel Luh Sri dengan wajah merengut sambil berjalan ke arah ladang jagung.
Sedangkan itu, Arya yang semakin ngebut tampak mulai cemas. Apalagi tempat yang dia tuju sudah terlihat di kedua bola mata. Sebuah bangunan yang kelihatan besar dan bergaya modern. Sangat berbeda dan begitu mencolok jika dibandingkan dengan rumah yang berada di sekitarnya. Di mana rata-rata masih kental dengan seni arsitektur khas Bali. Lengkap dengan seni ukirnya. Baik pada tiang kayu, bingkai jendela, pintu, dan pintu gerbang.