Mikai mengarahkan motornya menuju ke tempat parkiran di samping sebuah gedung yang paling besar di kota kecil dimana dia tinggal. Kendaraan roda dua yang dia kendarai bertajuk BSA c12 keluaran tahun 1956. Entah sudah berapa tangan menjadi pemilik motor itu hingga akhirnya sampai juga di tangan seorang Mikai. Seorang pria muda terlihat berlari membuntuti motor Mikai dari belakang.
“Tak usah dikunci stang, kak. Biar saya yang parkirkan.” Ujarnya.
Mikai menganggukkan kepala merespon ucapan pria itu. Mikai menghentikan gerak motor dengan segera menginjak rem kaki. Dengan perlahan Mikai turun dari motor dan melepaskan helmet merk Arai dengan tipe dragon Rx7x Kiyonari yang baru Mikai beli beberapa bulan yang lalu setelah menabung 2 tahun belakangan ini. Tentunya Mikai juga harus merelakan dirinya tak membeli baju lebaran di 2 kali idul fitri. Helmet itu kontan menjadi barang kesayangan Mikai. Dengan berlahan dan hati – hati Mikai meletakkan helmet-nya diatas stang motor. Mikai mengikuti perkataan pria yang kini berdiri dibelakangnya dan membiarkan pria itu yang langsung menyambar motornya untuk diparkirkan dengan rapi.
Kota dimana Mikai tinggal ini sebenarnya tak terlalu khawatir dengan keamanan. Ada pun kasus kejahatan yang kadang terjadi selalu dilakukan oleh orang dari luar daerah. Jadi Aman. Tinggal di kota dengan tingkat kejahatan yang rendah memang menyenangkan dan tak menimbulkan rasa was – was. Yang kurang dari kota itu salah satunya adalah tingkat pendidikan. Ya, tingkat pendidikannya masuk kategori kurang menurut catatan statistik yang dapat dilihat pada buku ‘Sanggau Dalam Angka’. Nah Sanggau-lah nama kota dimana Mikai tinggal. Sebuah kota yang damai dengan letak geografis yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia Timur. Bahasa daerah Sanggau dan Serawak pun tak banyak beda vocabulary-nya. Jadi tidak heran banyak penduduk perbatasan yang punya hubungan erat dengan Serawak.
Jangan salah mengira. Kota kecil bernama Sanggau merupakan nama dari ibu kota kabupaten Sanggau. Biar pun menurut statistik tingkat pendidikannya masuk kategori rendah, namun hampir rata – rata penduduknya mampu menyelesaikan pendidikan di jenjang perguruan tinggi baik D3, D4 dan S1. Bahkan ada juga yang menyelesaikan pendidikan mereka di jenjang S2 dan S3 baik di dalam maupun di negeri, bahkan ada yang tamatan dari Universitas terkemuka dunia.
Namun kebanyakan dari orang – orang yang punya tingkat pendidikan tinggi tesebut memilih bekerja di ibu kota negara dan ada beberapa yang juga memilih bekerja di negara lain yang lebih maju. Mengingat mereka tetap harus mengembangkan research terkait kajian ilmu yang mereka pelajari. Salah satunya abang dari ibu Mikai. Bahkan beliau sampai hari ini masih betah menetap di Amerika. Beliau juga punya catatan prestasi yang cemerlang dengan berhasil meraih gelar professor-nya dari University of California dan mengabdi di almamaternya tersebut. Siapa yang bisa memaksanya pulang? Tak ada. Lagian penghargaan untuk mereka yang bergerak dalam bidang akademik dan ilmiah memang masih sangat minim di Kabupaten Sanggau. Sehingga wajar bila tingkat pendidikan dalam data statistik tergolong rendah angkanya. Hal lainnya juga disebabkan tak ada perguruan tinggi di kota Sanggau. Namun baru – baru ini berhembus angin segar yang mengabarkan berita baik dari Bapak Bupati yang merencanakan berdirinya sebuah perguruan tinggi untuk putra – putri Sanggau yang ingin melanjutkan pendidikan tak perlu keluar daerah, keluar pulau atau pun keluar negeri.
“Mikai…”
Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya. Mikai menoleh keasal sumber suara.
“Ayo…”
Mikai menganggukkan kepalanya kepada seorang perempuan yang berdiri di lorong parkiran. Mikai memang tak sendirian datang ke gedung itu. Mikai datang bersama Gea, teman sekantornya yang juga pernah jadi temannya se-masa menggunakan seragam putih abu-abu. Mikai melangkahkan kakinya menghampiri Gea yang tampak merapikan Gaun coklat selututnya. Jangan bandingkan penampilan Mikai dengan Gea yang terlihat rapi, feminim dan cantik. Mikai hanya mengenakan pakaian casual dengan celana blue jeansnya dan kemeja pink yang tampak oversized, dilengkapi oleh jilbab yang berwarna pink dengan motif abstrak berwarna coklat dan juga biru.
Sore itu saat langit masih tampak berwarna biru dangan dihiasi awan – awan putih yang indah, Mikai dan Gea yang sebelumnya memang sudah janjian untuk pergi bersama menghadiri acara pernikahan saudara dari teman sekantor mereka. Hubungan kekerabatan orang – orang Sanggau cukup kuat. Jadi bila keluarganya yang mengadakan acara pernikahan atau acara lainnya, pihak saudara yang lain diperbolehkan untuk mengundang teman – temannya. Mungkin begitulah kearifan lokal yang masih bertahan kokoh hingga sekarang. Mikai dan Gea berjalan memasuki ruangan bersama para tamu lainnya yang berada didepan keduanya. Kedatangan dua perempuan itu disambut dengan ramah oleh sederet orang yang menjadi panitia dari acara tersebut. Secara bergantian Mikai dan Gea menyalami mereka satu persatu.
Gedung yang selalu digunakan untuk pertemuan baik acara kedinasan, organisasi, partai, dan bahkan acara keluarga tersebut tampak ramai dengan kedatangan banyak tamu yang telah hadir. Dari kejauhan seorang perempuan tersenyum sambil berjalan tergopoh – gopoh menghampiri kami. Perempuan itu tampak anggun dengan mengenakan kebaya berwarna silver sama dengan ibu – ibu penyambut tamu lainnya, dan beberapa ibu – ibu lainnya dalam ruangan tersebut. Tampaknya kebaya berwarna silver itu adalah seragam dari pihak keluarga kedua mempelai. Kak Nining begitu biasanya orang kantor biasa memanggil perempuan itu.
“Loh kok berdua aja, yang lain mana?” Tanya Kak Nining dengan ramah.
“Ndak tahu kak. Kami berdua aja yang janjian.” Sahut Gea merespon.
“Ikh… Mikai tetap casual dimana pun dan kapan pun.” Komentar Kak Nining memperhatikan penampilan aku yang cenderung tak biasa dalam suasana kondangan.
“Iya.” Angguk Mikai seraya tersenyum lebar.
Sungguh Mikai agak malas tadi untuk mengganti pakaian setelah pulang dari pertemuan dengan teman – teman kuliahnya dulu yang mampir sebentar di Sanggau sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju Sintang dari Pontianak. Mikai tak bisa berkata – kata lagi untuk melanjutkan kalimatnya menanggapi Kak Nining. Suara musik dari orgen tunggal yang menghibur pesta pernikahan terlampau kecang menyulitkan Mikai untuk bicara. Terlebih lagi sang penyanyi menyanyikan lagu Tenda Biru tapi diacara pernikahan sungguh sangat tidak nyambung dengan suasananya. Tenda biru yang harusnya lagu sedih malah dinyanyikan dihari bahagia.
“NING…” Teriak Seorang ibu. Namun suara teriakannya tak terlalu terdengar tenggelam bersama alunan musik yang keras sekali.