Dara adalah sebuah bandar kecil yang terletak di Sasaniyah, wilayah sebelah timur dari kerajaan Ngerum, salah satu negeri bawahan dari kerajaan Amir Ambyah, Kuparman. Meskipun kecil, karena terletak pada poros perlintasan dagang baik dari Ngerum ke Mekah, juga dari Mesir ke Kuristam, maka Dara menjadi bandar yang sibuk dan ramai. Belum lagi, karena juga terletak dekat Danau Telamis, Dara juga dijadikan tempat persinggahan para kafilah dagang. Penduduknya, kebanyakan, membuka usaha penginapan, kedai makanan dan minuman, serta menyediakan hewan-hewan pembawa beban dan pasukan, seperti unta, kuda, keledai, juga blegdaba.
Blegdaba adalah sejenis kerbau liar karena ia bertanduk, tapi bertubuh langsing dan bersurai seperti kuda. Warna kulitnya coklat gelap dan hitam. Otot-ototnya liat dan memiliki kemampuan berlari dengan sangat cepat. Dan itulah karunia Tuhan baginya yang membuat blegdaba menjadi binatang yang masih terus berkembang di daratan Afrika, sebab di padang-padang rumput di Ngabesin, blegdaba adalah makanan utama dari singa dan macan, selain rusa. Sedang di Mesir, blegdaba yang menyeberangi sungai Nil saat bermigrasi untuk menyesuaikan dengan cuaca dan curah hujan di bulan-bulan kering, adalah santapan buaya-buaya besar. Blegdaba bisa ada di wilayah Sasaniyah dan sekitarnya karena binatang itu didatangkan dari Ngabesin dan Mesir. Sebagai binatang liar, blegdaba lebih keras kepala dibandingkan dengan keledai. Perlu waktu cukup lama agar blegdaba siap dikendarai untuk perang atau mengangkut barang. Karena itulah ada sebagian kecil orang di Dara yang bekerja sebagai penjinak blegdaba. Mereka disebut sebagai saybinu.
Kehidupan seorang saybinu tak pernah lepas dari kandang blegdaba. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan blegdaba yang “sudah jinak tapi masih bisa galak” bagi pasukan kerajaan Ngerum begitu tinggi. Sewaktu, bersama-sama dengan Amir Ambyah, Ngerum menggempur kerajaan Biraji – yang dipimpin Aspandriya, raja setan berkulit tembaga, dan kakaknya, Mraja Baladikum, si penunggang garga (sejenis kuda terbang) – raja Ngerum mengerahkan satu keti (seratus ribu) pasukan penunggang blegdaba. Dan dalam peperangan itu akibat dari empasan angin ribut dari kibaran panji tunggul wulung milik Aspandriya, seribu ekor blegdaba mati sia-sia. Diterbangkan bagai serat-serat kapuk lepas dari pokok randu. Karena itu, di tahun ini saja, Ngerum minta disiapkan dua ribu ekor blegdaba, yang jinak, bisa ditunggangi, tapi juga bisa galak, mau diajak berperang!
Di sebuah kandang penjinakan blegdaba di Dara, tersebutlah seorang saybinu bernama Bandarjani. Ia sebenarnya bukan orang Dara, melainkan dari Ngalabani. Ayahnya bernama Daundari, dulunya seorang patih Ngalabani sewaktu diperintah oleh raja Masbahan. Daundari pada waktu Masbahan hendak menyerahkan tahtanya pada Maktal, puteranya, diperintahkan untuk mengiring Maktal mencari guru untuk ilmu politik, ilmu perang, ilmu pemerintahan, juga ilmu kedigdayaan. Di tengah perjalanan, Maktal, yang diiringi Daundari juga Sapardan, sepupu Maktal, berjumpa dengan kafilah dari Bani Abas, Abdullah, dan Abu Talib yang berangkat dari Mekah menuju ke Yaman untuk memberi upeti kepada raja Yaman, Badi Bahram. Tahu bahwa kafilah Arab itu membawa harta yang banyak, Maktal ingin mencoba kekuatannya, ia merampok mereka dan usahanya berhasil bahkan tanpa perlawanan berarti. Kafilah itu kembali ke Mekah. Sesampai di Mekah, kafilah itu minta bantuan pada Amir Ambyah dan Umarmaya untuk membalas perbuatan Maktal dan para pengiringnya. Amir Ambyah meminta kafilah itu, bersama dengan dirinya dan Umarmaya, kembali menuju Yaman untuk mencari para perampoknya. Ketika mereka bertemu dengan Maktal dan para pengiringnya itu, Amir Ambyah dan Umarmaya meminta dengan baik-baik agar harta yang dirampok dikembalikan. Permintaan Amir Ambyah ditolak Maktal, hingga terjadilah pertarungan yang membuat Sapardan mati. Maktal dan Daundari menyerah lalu diampuni oleh Amir Ambyah. Daundari disuruh pergi sementara Maktal dibiarkan meneruskan perjalanannya mencari guru untuk belajar sebelum menjadi raja di Ngalabani. Itu terjadi sebelum Kerajaan Yaman dilanda kebakaran besar.
Bandarjani sebagaimana saybinu yang lain, belajar menjinakkan blegdaba berdasarkan buku “Upaya Menangkap Wabru” yang mengisahkan bagaimana Hisyam seorang panglima perang dari pihak Raja Nusirwan berhasil menjinakkan seekor binatang liar dan buas yang disebut Wabru di pegunungan Jabalbeh. Tak jelas memang penggambaran orang tentang binatang ini, karena wabru memang sulit ditemukan atau ditangkap. Satu-satunya gambar wabru ada di Kuparman. Namun gambar itu sudah lama dibuat sehingga sudah tak utuh lagi. Hanya bercak-bercak tak berbentuk di salah satu dinding benteng kota, tempat dulu kulit wabru pernah dipajang. Wabru suka merusak tanaman-tanaman pertanian, dan tak segan menyerang penjaga ladang atau petani penggarapnya, dan saking banyaknya korban, wabru sering dikabarkan sebagai pemangsa manusia. Padahal itu tidak benar. Kulit wabru yang keras memang bisa melukai kulit manusia. Namun wabru tidak memakan manusia. Hisyam, konon, seperti halnya Umarmaya yang pernah bertemu dengan Baginda Soleman, bisa berbahasa binatang. Meski Hisyam seorang pemanah yang andal, Hisyam biasanya lebih dulu membujuk binatang buruan agar tetap diam saat dibidik. Diperdengarkannya suara merdunya seperti layaknya Nabi Dawud bernyanyi, maka binatang itu akan terdiam karena terpesona. Saat itulah Raja Nusirwan, yang ditemaninya untuk berburu, diberi tanda agar segera melepaskan anak panahnya.