Pagi ini, udara danau Telamis yang sejuk terbawa angin ke arah gunung Buyuk Mahalesi di sebelah utara Dara. Hal ini membuat seorang sepek, sebutan bagi penjaga sebuah rumah penjinakan blegdaba, yang sedang duduk di depan kandang dinmar semakin mengantuk. Ia tidak menyadari di balik pohon, ada sesosok lelaki tengah mengamati rumah penjinakan yang ia jaga. Tahu kalau penjaganya hampir lelap tertidur, lelaki itu bergerak cepat dengan tanpa suara menuju ke halaman belakang rumah penjinakan itu. Tepatnya ke kandang dibek.
Berhenti sejenak, lelaki itu, dengan matanya yang bundar besar, mengamati beberapa ekor blegdaba yang mulai mendengus-dengus keras karena terkejut akan kehadirannya. Mata lelaki itu menutup dan mulutnya mulai berkomat-kamit merapal mantra menenangkan hewan, “Kanjeng Nuriya putri Siti Bilkis, perbolehkan hamba menyentuh peliharaanmu. Biarkan tenang yang galak, yang buas. Biar mereka tak bakal beringas. Buatlah mereka jadi jinak. Berbudi halus seperti dirimu, Kanjeng Putri Nuriya, putri kekasih tercinta Baginda Soleman.” Perlahan, setelah merapal mantra, lelaki itu yang tak lain adalah Bandarjani, membuka mata. Memperhatikan kembali tingkah laku blegdaba-blegdaba yang ada di kandang dibek itu. Dan entah karena keinginan kuat atau memang mantra itu manjur, dengusan-dengusan dari blegdaba-blegdaba itu mereda. Mereka kini sibuk mencari apa saja yang bisa mereka makan. Rerumputan kering atau jerami sisa-sisa pakan mereka kemarin.
Pelan-pelan, Bandarjani membuka pintu kandang dibek, untuk bisa mendekati blegdaba-blegdaba itu. Beberapa ekor blegdaba tetap bergeming sambil memakan rumput atau jerami. Beberapa lainnya mulai terlihat ketakutan dan berusaha menyingkir dari langkah-langkah Bandarjani. Hal itu membuat Bandarjani ingat harus membaca sebuah mantra lagi, mantra yang paling kuat untuk menundukkan binatang buas sekalipun. Mantra ini tidak ditulis dalam buku Upaya Menangkap Wabruk yang ia pelajari, namun didapat dari cerita ayahnya, Daundari, tentang kehebatan Amir Ambyah atau Wong Agung Jayengrana mengalahkan Kalisehak, kuda tunggangan nabi Iskak. Ceritanya dulu, Umarmaya, sahabat sekaligus patih dari Amir Ambyah, tersesat pada sebuah taman tua saat mencari seekor kuda untuk menggantikan kuda milik seseorang yang ia pinjam dan terluka dalam suatu perjalanan. Ternyata di taman itu terdapat seekor kuda yang demikian trengginas. Bermaksud ingin menangkapnya, Umarmaya justru terluka akibat terjangan kuda itu. Umarmaya pun minta bantuan dari Amir Ambyah untuk menundukkan kuda yang ternyata adalah kuda Kalisehak milik Baginda Nabi Iskak. Sebenarnya telah disebutkan ada wasiat dari Baginda Nabi Iskak bahwa barangsiapa dapat menunggangi Kalisehak, maka ia berhak memilikinya. Sebab Kalisehak bukan sembarang kuda. Ia bisa berlari cepat melebihi kecepatan angin.
Mantra yang diucap oleh Amir Ambyah adalah begini, “Hai angin yang sumilir. Kalau belum sampai samudera, jangan coba-coba untuk mampir. Di sini aku terpaksa berdiam, menjaga agar aman pusaka Baginda Soleman – genta madu dan seruling bambu. Siapa saja yang ingin membunyikannya, bersiaplah pada hukuman paling pilu. Diam, diamlah angin. Diam dan tunduk bersamaku.” Seusai Amir Ambyah merapal mantra seperti itu, Kalisehak berhenti menerjangkan kaki. Kepalanya tunduk. Kedua kaki depannya ditekuk, supaya punggungnya turun. Ia mempersilakan Amir Ambyah menyentuh surainya. Bahkan ia biarkan juga Amir Ambyah menaiki punggungnya. Setelah posisi duduknya pas, Kalisehak berdiri tegak kembali, siap untuk dikendarai kemana pun Amir Ambyah ingin pergi.