Bandarjani tetap berusaha menekankan lututnya pada dada blegdaba itu meskipun tubuhnya terombang-ambing di atas punggung blegdaba yang terus berjingkrak, berlari, mobat-mabit ke kanan dan ke kiri, seolah ingin segera terbebas dari mahluk yang menungganginya. Dalam waktu itu, Bandarjani kembali merapal mantra Amir Ambyah untuk Kalisehak, “Hai angin yang sumilir. Kalau belum sampai samudera, jangan coba-coba untuk mampir. Di sini aku terpaksa berdiam, menjaga agar aman pusaka Baginda Soleman – genta madu dan seruling bambu. Siapa saja yang ingin membunyikannya, bersiaplah pada hukuman paling pilu. Diam, diamlah angin. Diam dan tunduk bersamaku.” Dan begitu mantra itu selesai diucapkan, blegdaba jantan itu seolah lemas lalu ambruk. Beruntung Bandarjani berhasil melompat untuk menghindari ia jatuh bersama blegdaba itu ke tanah.
Melihat Bandarjani melompat dan sudah berhasil berdiri di samping blegdaba yang jatuh, sepek dan gerombolan pengepung Bandarjani segera maju. Bersiap menghajar Bandarjani.
“TUNGGU!”
Perempuan yang Bandarjani duga sebagai pemilik rumah penjinakan memecah riuh rendah suara teriakan sepek dan para saybinu serta penjaga lain yang merubung Bandarjani. Langkah perempuan itu juga membuat orang-orang di depannya segera menyingkir untuk membuat jalan baginya maju menjumpai Bandarjani. Begitu ia berdiri di hadapan Bandarjani, terlihat bahwa perempuan itu punya paras yang cantik seperti gadis-gadis Turki yang diimpikan Bandarjani untuk bisa digodai di tepi Danau Telamis. Matanya terlihat nyalang meskipun terasa lembut tatapannya. Mata yang terlihat seperti percampuran ras barat dan timur di mana lingkar matanya agak menyipit di bagian ujung luar, tetapi bagian tengah bola matanya berwarna pirus. Rambutnya pun tidak hitam sempurna, tapi ada semburat kemerah-merahan seperti rambut jagung.
Bandarjani menundukkan pandangan. Begitulah ia diajar oleh ayahnya untuk bersikap hormat terhadap perempuan. Kedua tangannya dikatupkan membentuk sikap menyerah. Sebelum perempuan itu bersuara lagi, ia lebih dulu mengucapkan salam, “Salam Puan. Hamba Bandarjani, seorang saybinu dari rumah penjinakan milik Amuda. Mohon maaf sudah membuat kegaduhan di sini.”
Dengan wajah tetap marah, perempuan itu menegurnya, “Oh. Jadi kamu seorang saybinu. Lalu bagaimana bisa kau berada di dibek milikku?”
“Ampun beribu ampun, Puan. Hamba hanya kebetulan lewat dari arah belakang rumah penjinakan ini. Dari Imlila, rumah orang tua hamba, mau kembali ke rumah penjinakan Amuda. Karena embik blegdaba jantan hitam ini, hamba tertarik untuk melihatnya. Dan ternyata…”
“CUKUP!”
Bandarjani terkejut mendengar perempuan itu mencegahnya bicara lebih lanjut mengutarakan alasan palsunya. Ia menduga apakah terlalu kentara ia berdusta sehingga perempuan itu tak ingin mendengarkan lebih lanjut alasannya ataukah perempuan itu memang tipe perempuan yang tak mudah dibohongi?