Dyah Wijaya, para istri, dan seluruh pengikutnya telah meninggalkan tlatah Manguntur. Di tepi sungai Aksa, rombongan Dyah Wijaya menghentikan larinya kuda. Berhenti di hutan Danalaya yang terbelah sungai Aksa. Mengembalikan daya tenaganya sebelum melanjutkan perjalanan menuju Sungeneb.
Ketika beristirahat, rombongan Dyah Wijaya itu turun dari gigir kuda. Sebagian rombongan duduk dengan kaki diluruskan ke depan sambil bersandar pada pohon. Sebagian lainnya tiduran beralas rumput yang menghijau rimbun. Sebagian terakhirnya turun di tepi sungai untuk membasahi sekujur tubuh mereka yang sekian lama tidak tersentuh air.
Lantaran tertiup semilir angin, banyak pengikut Dyah Wijaya yang tertidur. Bukan hanya para istri, namun pula pengikut-pengikut lainnya. Ketika seluruh pengikut tidur terlelap, ia menyaksikan empat orang yang menyeberang sungai Aksa dengan menggunakan gethek.
Semakin gethek itu mendekati tepian sungai, Dyah Wijaya semakin mengenal kalau orang-orng itu tak lain Gagak Seta, Krisna Yuda, Mahisa Bang, dan Dirada Jenar. Empat orang yang semula menjadi panglima perang andalan Prabu Kertanagara dan dipercaya untuk menyerbu kerajaan-kerajaan di Swarnadwipa dan Jawadwipa.
Dyah Wijaya beranjak dari batu gajah ketika keempat panglima perang Singasari itu sudah melompat ke bibir sungai Aksa. Dalam sekejap, antara ia dan keempat panglima perang itu hanya saling pandang. Taka da sepatah kata terucap.
Suasana senyap sontak dipecahkan oleh kata-kata yang diucapkan Gagak Seta, “Maaf, Kisanak. Apakah Kisanak ini Pangeran Wijaya? Putra menantu Gusti Prabu Kertanagara?”
“Apakah Paman Gagak Seta lupa denganku?”
Mengetahui bila seorang yang dihadapi tak lain Dyah Wijaya, Gagak Seta dan ketiga panglima perang itu duduk bersila. Kepala mereka tertunduk di bumi. Usai menghaturkan sembah bakti, Gagak Seta berkata santun, “Apakah Kangjeng Pangeran berada di hutan Danalaya ini menjemput hamba? Apakah Pangeran akan menjatuhkan hukuman pada hamba yang gagal menaklukkan kerajaan-kerajaan di Swarnadwipa dan Jawadwipa?”
“Tidak sama sekali, Paman.” Dyah Wijaya tertawa kecil. “Yang memerintahkan Paman untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Swarnadwipa dan Jawadwipa bukan aku. Tetapi, Rama Prabu. Aku tidak punya wewenang untuk menjatuhkan hukuman.”