BANJIR DARAH NEGERI DHAHA

Sri Wintala Achmad
Chapter #2

Chapter 2

Menyemburat jingga ufuk timur menandakan waktu fajar telah tiba. Seluruh hewan di dalam hutan saling menyampaikan salam. Serasa seperti bangsa manusia, hewan-hewan itu memberi kabar bila hari sudah berganti. Bedanya dengan manusia, hewan-hewan itu tak mengetahui hari jatuh di tanggal, bulan, tahun, atau winda apa.

Sungguhpun matahari tampak terang benderang di atas pohon-pohon di hutan Danalaya, namun gerombolan Macan Putih masih tidur mendengkur. Lantaran semalam, mereka kekenyangan pesta daging kijang. Namun sesudah mendengar suara gemuruh yang semakin mendekati tempat itu, mereka serempak terbangun.

Semula Suragaruk mengira bila sungai Aksa banjir. Melihat air sungai tidak meluap, pimpinan gerombolan Macan Putih itu memastikan ada rombongan manusia yang akan dating ke tempat di mana ia berada. Bergegas ia memerintahkan seluruh bawahan untuk mengenakan topeng dan bersembunyi di balik pohon-pohon besar atau rimbung semak-semak.

Tepat dugaan Suragaruk kalau yang dating ke tempat itu adalah gerombolan manusia. Sebagian gerombolan itu menunggang kuda. Sebagian lainnya hanya berjalan kaki. Mereka yang menunggang kuda bersenjatakan panah. Mereka yang berjalan kaki, sebagian memegang tombak, sebagian memegang pedang.

Dari balik pohon Randu Alas yang besarnya tiga pelukan manusia dewasa, Suragaruk ingin mengetahui siapa yang menjadi pemimpin gerombolan itu. Sesudah mengintip, ia mengetahui bila seorang yang duduk di gigir kuda tak lain Kuda Wanenglaga. Panglima perang Gelanggelang yang pernah bertemu sewaktu pisowanan agung di Singasari beberapa tahun silam.

Mengetahui sang pemimpin adalah Kuda Wanenglaga, Suragaruk memastikan bahwa gerombolan itu pasukan Jaran Guyang yang akan menangkap Dyah Wijaya. Ia yang kemudian merangkak di balik rerimbun semak-semak memerintahkan Suragaruk, Suralampor, dan Surasenggot untuk mengerahkan semua bawahan. Menghujani panah pada Kuda Wanenglaga dan pasukan Jaran Guyang sesudah terdengar suara siulan.

Ketika Suragaruk memersiapkan bawahan untuk menghujani panah pada pasukan musuh, Kuda Wanenglaga turun dari gigir kuda. Mendekati bekas api unggun yang masih menyisakan arang merah dan asap. Sesudah meneliti dengan cermat, ia percaya kalua Dyah Wijaya dan rombongannya tidak jauh dari tempat itu.

“Kenapa Gusti Kuda Wanenglaga tidak segera melanjutkan perjalanan?” Salah seorang prajurit bertanya. “Hamba khawatir bila tidak segera melanjutkan perjalanan, Dyah Wijaya tidak segera tertangkap.”

“Kamu jangan bodoh-bodoh amat, Prajurit! Lihat!” Kuda Wanenglaga menunjuk bekas api unggun. “Bekas api ungggun yang baranya masih menyala itu menunjukkan Dyah Wijaya masih berada di sekitar tempat ini. Aku percaya dia bersembunyi. Karenanya, berhati-hatilah!”        

“Lantas sekarang bagaimana, Gusti?” Prajurit lain bertanya. “Apakah hamba beserta beberapa teman prajurit untuk mencari di mana Dyah Wijaya bersembunyi.”

Lihat selengkapnya