Hening. Gelap. Pengap. Hanya desah napas terdengar memberat. Lalu semua sunyi.
“Bismillah, Fer… Kamu bisa!”
Feri membuka mata perlahan, menatap dinding kaca kantor barunya yang cemerlang dari balik kaca mobil.
“Fer, kamu bisa.”
Sekali lagi dia bergumam, menyemangati diri sendiri untuk siap memulai hari atau lebih tepatnya, siap menantang diri sendiri. Matanya lalu melirik ke kanan. Seorang satpam sudah berdiri di samping pintu mobil, siap menyambutnya keluar dengan senyum paling lebar. Ditatapnya deretan huruf pada pita kain yang terjahit di bagian dada kanan lelaki itu. Oh, namanya Pak Dadang…
Feri meraih tas punggung di kursi sebelah lalu membuka pintu.
“Assalamu’alaikum, Pak Feri!” sapa Pak Dadang sembari sedikit membungkuk. Tangannya bergerak cepat meraih pegangan pintu mobil untuk siap-siap menutupnya kembali.
Feri tersenyum dan mengangguk. Sedikit kikuk. Panggilan “Bapak” sebenarnya masih terlalu dini baginya yang masih lajang serta berusia 32 tahun, tapi telinga itu harus dibiasakan mendengarnya mulai dari sekarang karena segalanya telah berubah semenjak tadi malam. Ya, setelah dia melalui acara serah terima jabatan atau yang biasa disingkat “sertijab”.
Feri yang tadinya seorang marketing senior di bank syariah mendadak naik kelas jadi pimpinan salah satu kantor cabang pembantunya. Promosi itu sudah dilakukan dari beberapa bulan yang lalu, atas persetujuannya sendiri. Bila dipikir lagi, kenapa dengan pede-nya dia menerima tawaran tersebut, padahal menjadi kepala KCP itu tidak mudah. Jawabannya mungkin karena sudah kadung gengsi, terlalu lama jadi account officer tanpa naik jabatan yang ujung-ujungnya bikin malu diri sendiri di hadapan teman sejawat, padahal rekan seangkatannya waktu pelatihan AO[1] dulu sudah menduduki posisi mentereng semua. Tersisa dirinya.
Pak Gunawan, kepala KCP yang lama dimutasi ke daerah timur. Saat mereka berjabat tangan semalam, pikiran Feri menggelayut sesaat, berpikir bahwa mungkin masa depannya bakal seperti beliau, terlempar ke sana kemari mengelilingi nusantara karena urusan pekerjaan. Feri termasuk beruntung berkantor di area Jakarta. Masih kota besar. Masih peradaban modern. Cukup menggunakan mobil untuk pindah dari tempat kos ke rumah dinas. Tidak perlu naik pesawat, mengarungi lautan dengan kapal apalagi menyeberangi pulau pakai perahu kecil. Duh… Feri meringis bila mengingat itu.
Dia pun melangkah menuju pintu masuk yang terbuat dari kaca. Pak Dadang bergegas mengejarnya untuk membukakan pintu tapi dari dalam seorang OB[2] sudah melakukannya lebih dulu. Feri masuk, menatap pemuda bertubuh kurus itu dan tersenyum. Dia lalu membalas dengan senyuman gugup. Di sebelahnya, berdiri Aprilia atau biasa disapa April, Operation Officer kantor itu.
Mata Feri berpindah pada wanita bertubuh semampai tersebut yang sudah memakai seragam lengkap. Sepagi ini, di kantor lama, biasanya para wanita belum mengenakan blazernya, baru blus dalaman saja agar tidak gerah karena seragam bagian atas mereka terdiri dari dua lapis. Sedangkan para pria, sudah pasti belum mengikat dasi, termasuk dirinya dahulu. Bila hari ini Feri tampil beda, turun dari mobil sudah berseragam lengkap, itu hanya akibat tuntutan jabatan. Malu pada anak buah. Masak hari pertama jadi pimpinan modelnya sudah santai? Benar-benar bukan teladan yang baik!
Kembali pada April, wanita itu kini tengah menatap atasannya dengan tatapan teduh. Feri memerhatikan wajahnya dengan saksama. Alis tebal, mata bulat yang dibingkai bulu lentik, hidung mancung serta bibir merah muda yang terpasung senyuman datar. Hmmm… Tadi malam senyumnya begitu juga. Dia bukan tengah mengagumi kemolekan wajah April walau wanita itu memang cantik. Sejak berkenalan tadi malam usai acara sertijab, kesan pertama yang ia dapat adalah April seseorang yang cenderung serius, tidak suka basa-basi serta sedikit bicara. Kacamata berbingkai tipis nan hitam makin menegaskan karakter itu. Dan pagi ini, dengan senyum khasnya, April meneguhkan keyakinan Feri akan sosok bos bagian operation yang sangar tapi kalem.