Tok, tok. Bunyi ketukan di pintu yang terbuka membuat Feri mendongak.
“Masuk.” sahutnya pelan.
Seorang pemuda berambut cepak dengan bobot badan mendekati kurus masuk dan berdiri di depan meja Feri. “Permisi, Pak! Saya Rendra Firmansyah. Saya diminta Ibu April untuk menemui Bapak.”
Senyum lebar merekah di wajah Rendra, Kulit sawo matangnya selaras dengan wajah lugu, memberikan padanan eksotis bagi orang yang baru pertama kali melihatnya. Kacamata berlensa tebal memberikan petunjuk pasti bahwa Rendra menderita rabun namun kemampuan otaknya sangat lumayan, sesuai dengan kinerjanya di bank selama ini sebagai seorang back office serba bisa. Disebut demikian karena Rendra mumpuni menangani beberapa pekerjaan di tempat tersebut. Sebut saja posisi teller, customer service hingga admin pembiayaan pernah dilakukannya, tentu sebagai pengganti saat rekannya sedang cuti atau sakit. Bila ada pegawai yang memegang rekor pengguna user cadangan terbanyak, maka Rendralah orangnya.
Feri menatap sejenak sosok yang berdiri di hadapannya. Sepintas dia ragu. Apa ini orang yang kata Mbak April kompeten menjadi guide seisi kantor? Masih muda banget… Kelihatan polos pula. Tadinya dia meminta bantuan April untuk berkeliling kantor, melihat setiap sudut sembari berkenalan dengan para pegawai secara langsung tapi April menolak karena harus membuka khasanah[1] usai doa pagi. Sebenarnya Feri dengan gampang bisa menyuruh anak buahnya berkenalan satu per satu pada saat doa pagi, di mana semua orang berkumpul dan berdoa bersama sebelum pekerjaan dimulai namun dia urung. Baginya, mengunjungi mereka di meja kerja lebih efektif untuk memupuk keakraban. Toh, bisa sekaligus mempelajari denah kantor agar tidak salah masuk ruangan.
Kembali ke persoalan pemandu wisata kantor, April akhirnya menyuguhkan pengganti. Ditunjuklah Rendra yang pada pagi itu memang belum banyak pekerjaan dan pastinya dianggap kompeten. Sayang, di mata Feri, sosok Rendra justru nampak tidak berpengalaman.
“Kamu… back office, kan?” Feri membuka suara.
“Iya, Pak. Hehe…” Rendra masih teguh mempertahankan senyum lebarnya.
“Kamu bisa temani saya keliling kantor? Sambil memperkenalkan para pegawai. Nggak usah formal, kita santai aja.”
“Oh, bisa, Pak! Bisa! Mau mulai sekarang?”
“Boleh.” Feri berdiri dari kursinya, “Mulai aja dari marketing dulu, terus kita ke bawah dan terakhir ke lantai tiga.”
“Siap, Pak!” Rendra bergeser sedikit, memberi ruang bagi Feri untuk berdiri di sebelahnya, tepat menghadap pintu yang terbuka. Dia lalu mengayunkan tangan pertanda mempersilakan Feri untuk keluar duluan. “Mari, Pak.”
Begitu keluar dari ruangan, Feri langsung disuguhkan pemandangan yang tidak asing baginya. Ada empat meja di ruang marketing. Masing-masing sudah terisi pemiliknya. Komputer menyala, berkas-berkas yang terbuka, kalkulator, ponsel, pulpen dan daftar angsuran di atas meja. Feri menatap wajah para marketing satu per satu yang sempat melihatnya sambil tersenyum sopan lalu langsung fokus lagi pada pekerjaan. Tiga orang staf pria dan satu wanita.
Rendra berdiri di samping Feri, “Yang ini namanya Mas Rei, Pak. Satu-satunya AO di kantor ini. Pegawai paling ganteng dan masih lajang.” bisik Rendra semringah.
“Oh, sama kayak saya, dong?” timpal Feri.
Rendra terkekeh. Rei lalu berdiri dari kursinya.
“Saya Rei Putra Aditya, Pak.” Dijulurkannya tangan untuk menjabat Feri.
Feri menyambut uluran tangan Rei, “Marketing bagian apa, Mas?”
“Commercial dan business, Pak. Kalau Mia bagian funding dan consumer.” Rei menoleh pada Mia di meja sebelah. Wanita itu tersenyum simpul dan menangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai tanda salam bagi Feri.
“Mas Rei ini keren, loh, Pak! Selalu jadi perwakilan kantor kita kalau ada lomba modeling perbankan, hehehe!” Rendra mulai promosi, “Soalnya orangnya tampan, tinggi, badan bagus, benar-benar postur sempurna! Kalau saya yang ikut, mana bisa menang KCP kita! Hahaha…”
Rendra tertawa sendirian. Feri meliriknya, setengah kaget dengan tawa yang membahana. Rei mendengus pelan dan berdeham, menyuruh Rendra diam melalui kode suara. Dalam situasi tertentu, Rendra memang suka tertawa sendiri. Malangnya, dia tidak pernah menyadari hal tersebut. Termasuk saat ini.
“Ehem!” Rei kembali memberi kode.
Rendra mengakhiri tawanya, “Alhamdulillah, sekarang ada Pak Feri.”
“Memang kenapa?” tanya Feri.
“Kan Pak Feri ganteng. Besok-besok, bila Mas Rei berhalangan, Bapak bisa gantikan dia di lomba modeling. Pasti cabang kita menang lagi!”
Mata Feri mendelik, sementara Rei menahan napas. Rahangnya mengeras. Ni bocah! Ceplas-ceplos amat, sih, dia! Di meja sebelah, Mia kontan menutup mulut dengan sebelah tangan sambil menahan tawa. Sementara dua pria di meja belakang mematung, enggan berkomentar apapun yang bisa memicu suasana makin ricuh.
“Maaf, Pak Fer, Rendra cuma bercanda! Dia orangnya memang polos!” Rei sedikit panik, khawatir Feri akan marah.
Rendra melongo, “Nggak, kok! Saya serius!” belanya tegas.
Rei membelalakkan mata. Feri menarik napas lalu menggelengkan kepala.
“Udah, Mas Rei, nggak apa-apa. Saya nggak tersinggung, kok. Cuma kaget aja.” Feri memaksa tersenyum agar suasana mencair, “Nah, yang di belakang ini, siapa aja?” Dia melangkah melewati meja Rei dan Mia.
Kedua marketing itu lantas berdiri dan menjabat tangan Feri bergantian. Pria yang bertubuh gemuk lebih dulu, disusul yang berbadan kurus. Keduanya tidak sama tinggi, persis angka 0-1 bila dijajarkan.
“Nah, ini Mas Agus Hendrawan. Marketing mikro, Pak.” Rendra memperkenalkan.
Agus mengumbar senyum melalui bibir cokelatnya, tempat kumis tipis bersemayam di bagian atas. Rambut belah pinggirnya tertata rapi, senada dengan kemeja yang disetrika mulus.
“Marketing mikro tapi badannya makro, hehe…” timpal Rendra lalu terkekeh lagi.
Senyum Agus menghilang. Feri menahan senyum.
“Kalau yang di sebelah, namanya Mas Cahyadi. Asisten marketing. Tugasnya bantu-bantu Mas Agus di bagian penagihan.”
Feri menatap Cahyadi yang tersenyum lebar padanya, “Kerja yang lumayan berat, yah, Mas? Di lapangan terus…”
“Iya, Pak. Begitulah nasib tukang tagih.” kelakar Cahyadi sambil tertawa ringan.
“Baik. Saya mau ke bawah dulu. Selamat bekerja, semua.”
Feri bergegas berjalan menuju ruang tamu diikuti Rendra. Ketika melewati ruang kaca, langkah mereka terhenti. Feri melihat Zumi yang sedang duduk manis di depan meja operator sembari bersolek. Tangan kirinya memegang bedak padat yang cerminnya terangkat sementara tangan kanan sibuk merapikan jilbab. Sadar akan kehadiran Feri, Zumi langsung menutup cerminnya dan berdiri.
“Eh, Bapak,” sahutnya kikuk, “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Yang ini namanya Zumi. Operator terkece di jagad raya. Siang orang bank, malam penyiar radio!” Rendra langsung promosi.