Bank(rut) Syariah

Dania Oryzana
Chapter #3

Pesan Dari Audit

Pintu kaca terbuka, seiring berhamburnya hawa dingin dari AC banking hall. Seorang pemuda melangkah masuk, disambut salam yang hangat dari Pak Dadang yang membukakan pintu untuknya.

“Ada yang bisa dibantu, Mas?” tanya Pak Dadang dengan senyum tulus.

Pemuda itu mengamati seisi ruangan dengan cepat, menghentikan pandangan mata pada CS lalu menoleh pada Pak Dadang.

“Saya mau ke CS, Pak!”

“Oh, iya. Mohon ditunggu. Saya ambilkan nomor antriannya dulu.”

Pak Dadang mendekati sebuah benda setinggi mesin ATM, menekan tombolnya lalu menunggu lembaran kecil keluar dari situ. Setelah lembar tersebut berada di tangan, dia menyerahkannya pada pemuda tadi.

“Ini nomor antriannya, Mas. Silakan menunggu.” Pak Dadang mengangkat sebelah tangan, mempersilakan dengan sopan.

Pemuda itu terlihat salah tingkah. Tatapannya tak lepas dari bagian CS. Ragu-ragu, dia mendekati Pak Dadang.

“Pak, bisa bantu saya nggak?” bisiknya.

Pak Dadang mengernyit, “Maaf, bantu apa, yah, Mas?”

“Ini, Pak,” Pemuda itu menunjukkan nomor antriannya, “Bisa nggak nomornya diatur supaya saya nanti perginya ke CS yang itu?” Telunjuknya mengarah ke Galuh.

Kening Pak Dadang makin mengerut. Dia melirik pemuda itu dari sudut mata.

“Maksudnya Mbak Galuh?”

Pemuda itu semringah, “Iyaaaa.” bisiknya lagi penuh semangat.

“Maaf, kalau boleh tahu, ada apa, yah, Mas, harus ke CS Mbak Galuh? Apa tidak bisa dibantu oleh Mas Miko?”

“Gini, Pak,” Pemuda itu makin mendekat ke arah Pak Dadang, “Saya soalnya naksir Galuh! Saya mau pe-de-ka-te dengan dia! Tolong bantulah, saya, Pak! Nanti ada imbalannya, deh!”

Pak Dadang mendadak melotot. Senyumnya pudar.

“Maaf, Mas,” Didorongnya pemuda itu dengan pelan agar menjauh, “Saya nggak bisa bantu. Nomor antrian ini tidak bisa diatur demikian. Kalau memang giliran Mas nanti pada Mbak Galuh, ya berarti rezeki Mas, tapi saya nggak bisa menukarnya. Maaf, saya takut menzalimi nasabah lain yang sudah antri.”

“Yah, tolonglah, Pak! Nasabah lain yang didahulukan aja, saya belakangan. Yang penting bisa ketemu Galuh. Nanti saya kasih imbalan!”

“Maaf, Mas, tidak bisa! Saya tidak menerima imbalan apapun!” Pak Dadang mengangkat sebelah tangan di depan dadanya sebagai tanda penolakan.

“Yah, si Bapak! Tolong, deh! Supaya saya bisa makin akrab dengan Galuh dan main mata sedikit lah dengan dia!”

Pemuda itu mengedipkan sebelah mata dengan genit. Pak Dadang naik tensi. Astagfirullah!

“Maaf, Mas! Saya tidak bisa! Lagipula, dosa hukumnya main mata dengan wanita yang bukan mahram! Akan lebih baik kalau Mas menghadap ke CS laki-laki, biar pandangan dan hati Mas terjaga.”

Sang pemuda melongo, langsung kehilangan kata-kata.

***

Naik ke lantai dua, Bobby, OB senior di kantor itu, baru tiba dari belanja makanan. Dia disambut Zumi dengan penuh antusias, seperti biasanya.

“Heeeeiiii, Beb! Dari mana, Beb?” Zumi tersenyum manis.

“Biasa, Beb, beli cemilan buat Mas Agus. Lu tahu kan doi nggak bisa kerja kalau nggak makan!”

Zumi terbahak. “Cuaca di luar lagi bagus, yah?”

“Hot, Beb! Hoooooot!”

Bobby membelalakkan mata dengan mimik lucu, membuat tawa Zumi makin melengking.

“Ya, udah! Lu ngadem sana di ruang server, biar dingin!”

“Yaelah, Zum, yang ada gue beku!”

Mereka tertawa lagi.  

“Zum, lu siaran nanti malam?”

“Yoi. Memang kenapa?”

Request lagu, dong!”

“Jangan dangdut, yah?”

“Ya nggak lah! Ini kan buat cewek gue! Dia orangnya gaul. Seleranya pas dengan radio lu! Sekalian gue kirim salam buat dia, yah?”

Lihat selengkapnya