Anita membuka lemari di sudut ruang BO, tempat stok susu kemasan siap minum untuk teller disimpan. Dia menganga lalu menoleh pada April yang sedang sibuk mengotorisasi pekerjaan Sofyan.
“Bu, susunya sudah mau habis.”
April meliriknya sebentar lalu kembali menatap layar komputer.
“Rendra, tolong telepon pantry. Minta salah satu OB belanja susu.”
Rendra menghentikan pekerjaannya dan mengangkat telepon. Dia langsung menghubungi pantry tanpa basa-basi. Sebentar lagi teller akan tutup dan melakukan cash count. Pembelian barang untuk kantor masuk dalam beban cabang yang transaksinya dikerjakan Rendra. Bila dia lambat dan Anita ogah menunggu, maka susu tidak akan jadi dibeli dan April pasti bakal mengomelinya.
Tak berapa lama, Syahdan, OB junior di kantor itu, sudah muncul di depan meja teller. Dengan sigap dia meluncur ke bawah karena senang akan melewati lantai dua, di mana Sheila sang penaksir gadai duduk manis mengerjakan emas-emasnya. Sejak bekerja di tempat itu, Syahdan yang masih muda belia jatuh hati pada wanita tersebut. Meski Sheila lima tahun lebih tua darinya tapi Syahdan tak peduli. Baginya, usia bukanlah halangan. Pemuda itu bertekad untuk menyelesaikan kuliahnya di Universitas Terbuka dan mencari pekerjaan layak agar bisa sesegera mungkin melamar Sheila. Saat ini, dia memilih untuk memendam cinta, memuja wanitanya secara rahasia.
Banking hall sudah lengang. Nasabah terakhir baru saja pergi dari hadapan Rian. Teller muda itu lantas menatap Syahdan.
“Ada apa, Syah? Kok berdiri di situ?” tanyanya pelan.
“Mau ambil uang buat beli syusyuuuu…” Syahdan bergurau sambil menempelkan dadanya ke meja teller.
Rian cengengesan, “Sebentar, yah, aku cek rekening perantara dulu.” Dia duduk dan membuka user di komputer. Tangannya bergoyang memainkan tetikus untuk memeriksa saldo yang akan didebet sebagai uang beli susu. Rian mengernyit lalu mendongak pada Syahdan.
“Belum ada, nih. Lagian, slipnya juga belum dikasih Mas Rendra. Aku belum bisa tarik.”
Syahdan mendelik lalu mengibaskan tangan, “Ya udah, nggak apa-apa. Aku tunggu.”
Rian tersenyum tipis lalu mengangkat bahu. Dia kembali memeriksa kasnya bila ada selisih.
“Hari ini rame?” tanya Syahdan mengusir bosan.
“Lumayan…” Rian tetap menatap layar komputer, “Ada problem sedikit, sih…”
“Apa? Lembar cek hilang lagi?”
Syahdan bertanya dengan serius, mengupas kenangan Rian waktu hari pertamanya menjadi teller. Rian mendongak, meyakinkan dirinya bahwa Syahdan tidak sedang mengejek. Bagaimanapun, Rian tidak akan lupa, bagaimana ia menerima nasabah yang hendak mencairkan dana dari cek, kemudian tanpa sengaja memasukkan lembar cek ke dalam printer sementara perhatiannya teralihkan oleh Anita yang sedang melatihnya. Saat Rian tersadar, tangannya tak lagi memegang warkat tersebut. Sekejap dia panik, lantas membuat Anita ikutan panik saat tahu dirinya sudah menghilangkan benda penting.
Keduanya sibuk membongkar sisi meja Rian, mengangkat keyboard, mengintip ke kolong dan bagian bawah kursi sambil berbisik-bisik. Setengah mengomel Anita menyuruh Rian mengingat lagi urutan kejadian saat dia menerima cek itu dari tangan nasabah. Keringat dingin mengucur di wajah Rian, pertanda ketakutan. Baru hari pertama masuk dan langsung menghilangkan cek sebesar puluhan juta rupiah? Benar-benar tidak asyik!
Pada akhirnya, Anita memberitahu April karena nasabah sudah menunggu terlalu lama meskipun terlihat santai duduk di kursi antrian. Dengan mimik dingin tanpa senyuman, April masuk ke ruangan teller, membuat Rian makin ketar-ketir. Setelah bertanya bagian mana saja di ruang itu yang sudah diperiksa oleh Anita dan Rian, April menarik napas panjang. Tanpa banyak kata, dia mendekati printer Rian dan menekan tombolnya. Mesin itu lalu memuntahkan selembar cek yang sempat ditelannya. Rian terbelalak. Anita tak kalah melotot. April menggelengkan kepala lalu berbalik menuju ruang BO tanpa sepatah kata pun.
“Woi, Rian? Woi? Malah mengkhayal!”
Suara Syahdan menyadarkan Rian.
“Eh, sorry, Syah! Tadi kamu ngomong apa, yah?”
“Itu, problem hari ini. Apaan, sih? Kasih tahu dong, biar aku nggak bete kelamaan nunggu uang susunya.”
“Oh, itu… Cuma penolakan warkat giro aja, sih… Tapi yang bikin jadi berat karena nasabahnya.”
“Hmm? Berat apanya?”
Rian tertawa ringan, “Nggak, sih. Cuma nasabah yang kebiasaan manja dari pimpinan lama dan sekarang, pas udah ganti kepala, mungkin agak shock karena nggak bisa kayak dulu lagi.”
Syahdan manggut-manggut meskipun kurang mengerti duduk persoalannya. Yang dia tidak ketahui, semua itu adalah aksi dari tuntutan Feri pada April untuk menuntaskan masalah di operation yang menjadi temuan Pak Azzam.
***
Siang itu, selepas istirahat makan siang, Pak Azzam menemui Feri untuk pamit. Tugasnya di KCP itu sudah selesai. Beberapa temuan ringan dilaporkan Pak Azzam untuk menjadi perhatian Feri. Bagaimanapun juga, semua kesalahan yang terjadi di cabang, besar atau kecil, selalu diinput dalam laporannya ke kantor pusat yang akan mempengaruhi penilaian kinerja cabang pun pimpinannya.
“Jadi, mengenai masalah koperasi, sudah sejauh mana progress-nya, Mas Feri?”
Pak Azzam menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mencoba bicara santai dengan Feri.
Feri tersenyum tipis, “Alhamdulillah marketing udah bergerak, Pak. Saya minta mereka menemui pengurus dan memastikan kejelasan status perkara penggelapan itu. Pelakunya memang sudah dipenjara, tapi uangnya kan nggak jelas gimana. Kasihan juga kalau anggota koperasi yang harus menalangi. Nggak adil, kan? Saya minta mereka menemukan win-win solution biar semua pihak enak.”
“Saya rasa tetap harus ada pihak yang dirugikan, Mas. Nggak bisa begitu. Nggak bakal ketemu! Kalau begini terus, bank merugi!”
Feri diam sejenak, berpikir.
“Pak Gunawan dulu terlalu lama mengambil tindakan. Selalu memilih menunggu, nggak agresif. Saya udah berkali-kali memperingatkan beliau. Sebelumnya juga saya kurang setuju dengan pencairan besar-besaran ini tapi apa daya saya. Saya kan cuma audit intern, bukan penasihat kebijakan! Tugas saya di akhir, bukan awal.” Pak Azzam terkekeh.
“Kalau audit dari KP [1]udah turun langsung,” Pak Azzam menarik napas, “Bisa berabe, Mas Fer! Tambah ribet urusan. Dan semua harus Mas Feri pertanggungjawabkan.”
Feri menutup mulutnya rapat-rapat. Dia mulai merasa tidak nyaman dengan beban di pundak.
“Saran saya, baiknya Mas Feri lebih agresif. Cek kolektibilitas setiap saat tapi pastikan terbayar pokok dan margin. Jangan ada yang terlewat.”