“Assalamu’alaikum! Dengan Zumi, operator. Ada yang bisa dibantu?”
Suara merdu Zumi menggaung di lantai dua. Nasabah gadai yang sedang duduk di hadapan Sheila melirik padanya selagi menunggu emasnya ditaksir.
“Oh, baik, Pak. Akan saya sambungkan. Mohon ditunggu. Terima kasih.”
Zumi menekan tombol ekstensi Feri. Dalam ruangannya, Feri sedang menatap layar komputer saat telepon berbunyi.
“Assalamu’alaikum. Dengan Feri Irawan, ada yang bisa dibantu?”
“Pak Feri, ada telepon dari Pak Lukman, divisi pembiayaan bermasalah, kantor pusat.”
Deg! Feri terdiam. KP? Divisi pembiayaan bermasalah? Aduh!
“Pak? Halo?”
“Eh, iya, Zumi! Tolong disambungkan.”
“Baik, Pak. Terima kasih!”
Terdengar bunyi pergantian saluran. Feri sekejap tegang.
“Assalamu’alaikum. Dengan Feri Irawan, ada yang bisa dibantu?”
Salamnya dijawab. Feri mendengar dengan saksama lawan bicaranya dari kantor pusat. Untuk beberapa saat dia bungkam, mencerna semua yang dituturkan oleh Pak Lukman. Pada akhirnya, bom waktu itu meledak juga dan Ferilah yang sedang menggenggamnya. Masalah di cabang mereka tidak bisa ditolerir lagi. Ibarat timbunan piring kotor, sekaranglah saatnya untuk mencuci. Feri menyeka wajahnya dengan sebelah tangan sambil mendengarkan perintah KP secara hikmat. Ternyata seperti ini beban seorang pimpinan. Diam-diam, ia rindu menjadi seorang marketing lagi.
***
Rapat dadakan itu diadakan usai Magrib. Pesertanya mulai dari marketing, admin pembiayaan, OO hingga operator. Zumi sampai harus minta izin tidak siaran malam itu karena diwajibkan ikut rapat, padahal biasanya jam lima tepat dia sudah menempelkan telunjuknya di finger scan untuk absen pulang.
“KP sudah mendesak kita untuk menyelesaikan masalah koperasi ini sekarang juga, plus beberapa nasabah mikro yang sudah nunggak berbulan-bulan.” Mata Feri beralih dari Rei ke Agus yang duduk bersebelahan, “Saya sempat luput kemarin dengan mikro karena terlalu fokus ke pembiayaan besar, tapi daftar kolektibilitas menunjukkan bahwa setiap bulan mikro memiliki banyak masalah juga!”
Cahyadi menelan ludah. Tubuh kurusnya sudah hampir menggigil karena AC di ruangan rapat dan sekarang ditambah pula dengan pembahasan kinerja buruk oleh kepala KCP yang marah-marah. Dia tiba-tiba menyesal tidak memakai jaketnya sebelum rapat mulai.
“Saya cukup terkejut dengan keadaan cabang ini yang setiap bulan selalu menggunakan margin pembiayaan bermasalah sebagai pembayaran pokok angsuran. Pantas margin kita kecil! Sudah saya telusuri semua lewat daftar transaksi dan Rei pun mengiyakan! Inilah kenapa KP menyorot kita! Pembiasaan buruk pada nasabah! Terlalu dimanja! Bukannya menyelesaikan masalah di internal mereka tapi memberi celah agar kolektibilitas dua setiap bulan bisa tertutupi! Kol dua memang selesai menjadi kol satu, tapi tidak ada solusi dan kita terus merugi! Harusnya dari dulu kita gerak cepat!”
Agus bersandar di kursinya. Diam dan mulai lapar. Biasanya usai salat Magrib, bila tidak sedang lembur, dia sudah menuju rumah dan langsung disambut masakan istri tercinta. Agus yakin, malam itu mereka tidak akan mendapat jatah makan dari kantor karena keadaan yang sedang genting serta suasana hati bos yang tidak menyenangkan.
“Mulai besok, kita lakukan penagihan besar-besaran! Kalau perlu, sampai malam! Uang lembur gampang, yang penting masalah selesai!” Feri melirik April, “Mbak April mohon sediakan lembar bukti lembur yang banyak! Biar mereka semangat kerja!”
“Iya, Pak.” jawab April datar.
“Rei, besok kamu ke instansi-instansi yang koperasinya bermasalah. Ketemu langsung pengurusnya, minta kepastian masalah selesai. Bila anggotanya yang sulit ditagih, kamu dan Mia bantu proses penagihan itu. Mungkin kalau orang bank yang sudah menagih sendiri, mereka akan tergerak membayar.” Feri gantian menatap Agus, “Mas Agus dan Cahyadi juga harus mau lembur. Selesaikan semua pembiayaan mikro yang bermasalah itu. Kalau kendaraan operasional kita kurang, sewa saja! Tapi hasil yang didapat harus sepadan!”
Agus mengangguk. Dalam hati kurang menerima. Sejujurnya dia tidak suka banyak lembur karena malam hari adalah waktu berkumpul dengan keluarga. Sofyan yang tadinya santai akhirnya dapat perintah juga dari Feri.
“Sofyan, kamu pantau kolektibilitas setiap hari dan laporkan ke saya. Mulai sekarang tidak ada lagi memo pengembalian dana ke rekening.” Feri melirik Rei, “Paham, Rei?”
Rei mengangguk pelan, merasa diperlakukan sebagai tertuduh.
“Dan terakhir, Zumi,” Feri melihat Zumi yang duduk paling jauh darinya, di ujung meja, “Tugas kamu menghubungi para penunggak, menagih lewat telepon. Kan selama ini yang mengingatkan nasabah untuk bayar angsuran adalah para marketing. Kamu sekarang bantu mereka. Telepon saja, mengingatkan, tidak makan waktu lama. Kalau nasabah jengah dihubungi terus, mereka pasti bakal bayar.”
Feri berhenti sebentar, mengambil napas. Ruangan rapat itu mendadak sunyi senyap.