Zumi menjauhkan gagang telepon dari telinganya. Wajah gadis itu tak karuan, seakan jengah mendengar suara lawan bicaranya yang galak. Untuk beberapa minggu terakhir, dia memang terbiasa mendengar amarah yang tumpah akibat penagihan utang. Zumi terkadang sebal. Tugasnya cuma mengingatkan akan setoran ke bank, tapi para nasabah bandel itu malah mencak-mencak, menjadikan Zumi pelampiasan.
“Kenapa, Zum?”
Pak Fahmi yang baru kembali dari tugas luar kebingungan melihat posisi Zumi memegangi teleponnya. Zumi cuma tertawa kecil.
“Eh, nggak apa-apa, Pak.” jawabnya sembari menutup telepon bagian bawah agar suaranya tidak terdengar lawan bicara, “Lagi bosen aja dimarahin.”
Pak Fahmi langsung paham dan tersenyum simpul. Dia kembali ke mejanya dan langsung disambut Sheila yang melaporkan beberapa gadaian hari itu sekaligus permintaan otorisasi.
Zumi perlahan-lahan mendekatkan telepon ke telinganya untuk mengecek apakah orang tersebut masih marah-marah atau barangkali sudah menutup telepon karena kesal. Dia menarik napas lega ketika mendengar nada tanda sambungan telah terputus sekaligus senang karena tidak perlu berbasa-basi minta permisi sebelum mengakhiri telepon. Baru saja gagang telepon diletakkannya ke tempat semula, benda itu langsung berdering.
“Assalamu’alaikum. Dengan Zumi, operator, ada yang bisa dibantu?”
“Zum, tolong beritahu bagian marketing kecuali gadai, terus Mbak April dan Sofyan bahwa nanti malam kita ada rapat. Bada’ Magrib. Kamu juga ikut, yah!”
Feri memberi perintah lewat telepon dengan lugas dan cepat. Zumi menganga. Rapat lagi? Nanti malam?
“Oh, iya, Pak. Akan saya sampaikan.”
“Oke! Terima kasih! Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam…”
Zumi menutup telepon dengan bibir mengerucut. Otaknya langsung bekerja memikirkan alasan yang tepat untuk minta izin tidak siaran lagi malam ini. Aduh, bisa dipecat gue dari kerjaan radio kalo terus-terusan kayak gini!
***
Suasana tegang yang sempat tercipta di awal rapat perlahan mencair tatkala Feri mengumumkan hasil yang baik tentang pencapaian kinerja mereka khususnya dalam hal penagihan dan penyelesaian masalah pembiayaan. Raut wajah peserta rapat mulai berubah santai dengan senyum yang mekar.
“Jadi saya memanggil teman-teman semua untuk rapat malam ini bukan dalam rangka marah-marah lagi, melainkan apresiasi atas kerja yang baik! Saya paham, beberapa minggu ini terasa sangat melelahkan, terutama bagian marketing. Operation pun sangat membantu dengan sesekali mengulur jam tutup teller karena menunggu marketing yang dalam perjalanan pulang dari penagihan. Saya cuma bisa mengatakan bahwa saya sangat senang!”
Agus tersenyum lebar sambil manggut-manggut. Di sebelahnya, Sofyan dan April tetap kukuh dengan ekspresi datar. Zumi mengikuti jejak Agus dengan mengumbar deret giginya yang rapi dan putih, dibingkai oleh bibir berpulas lisptik merah muda yang selaras dengan seragam hari itu. Akhirnya! Masa-masa gue nagih lewat telepon berakhir sudah!
“Saya dapat kabar dari orang KP yang memonitor kerja kita dan beliau memuji kemajuan ini. Dari cabang yang tadinya lambat bergerak untuk penyelesaian masalah menjadi cabang yang penuntasan masalahnya cukup melesat. Akan tetapi, kita jangan terlalu gembira dulu. Ke depan, masih banyak PR yang harus kita selesaikan. Kolektibilitas bisa sewaktu-waktu kembali ke keadaan semula, membuat nilai cabang jadi anjlok.”
Pintu ruangan diketuk tiga kali kemudian terbuka. Syahdan muncul dengan nampan berisi aneka kue. Di belakangnya mengekor Bobby, yang membawa cangkir berisi teh hangat. Semua mata menatap mereka. Beberapa nampak kebingungan.
“Jadi, sebagai tanda terima kasih saya atas kerjasama yang baik dari teman-teman, hari ini saya hadiahkan anda semua kue aneka ragam. Silakan dinikmati! Harus habis , loh, yah! Kalau nggak habis, nanti saya suruh lembur lagi!”
Tawa berderai membahana di ruangan diiringi senyum tipis oleh Sofyan dan April. Agus dan Cahyadi langsung menyerbu hidangan diikuti oleh Zumi, Mia dan Sofyan. Bobby dan Syahdan pun tak ketinggalan. April memilih untuk makan paling terakhir, membiarkan teman-temannya yang lain larut dalam euforia. Rei berdiri mendekati Feri, lalu menatap pemandangan ruang rapat yang mejanya dipenuhi piring, bungkus makanan, cangkir, tumpahan teh serta tissue.
“Apa ini tidak berlebihan, Pak?” tanyanya pada Feri.
Feri melirik Rei sebentar lalu kembali menatap keriuhan, “Anggap aja ini mewakili rasa terima kasih saya pada kalian. Kalian yang turun ke lapangan. Saya tahu itu tidak gampang.”
Rei mengembuskan napas perlahan, “Tapi, Pak, bukankah masalah koperasi belum sel,”
“Rei,” Feri memotong kalimat Rei, “Jangan rusak kegembiraan teman-temanmu malam ini. Saya tahu itu. Mari jadikan ini penyemangat untuk menuntaskan masalah. Besok masih ada, insyaallah. Semoga urusan kita dimudahkan Allah.”
Feri lalu terdiam, sedikit bingung dengan kata-katanya sendiri yang terdengar hanif. Kok aku jadi mirip Pak Dadang, sih?
Rei akhirnya berbaur dengan teman-temannya dan mengambil sebuah donat. Mereka lantas memanggil Feri, satu-satunya orang di ruangan yang belum menikmati kue. Feri tersenyum, beranjak dari tempatnya dan ikut memakan kue.
“Makasih, yah, Pak, buat kuenya! Enak banget! Nggak rugi deh saya, malam ini udah izin nggak siaran. Lumayan bisa makan kue gratis, sedap, mahal pula!”
Zumi berdiri di sisi Feri sambil mengunyah kue sedikit demi sedikit. Semringahnya belum luntur semenjak pembagian kue. Bobby yang mendengar kata-katanya langsung bereaksi.
“Halah, lu, Zum! Kue kalo enak pasti mahal! Ada harga, ada kualitas!”