Kedatangan Pak Azzam ke kantor itu lagi membuat setiap orang waspada. Bagaimana tidak, semua pekerjaan harus dilakukan sempurna. Cacat sedikit saja, langsung jadi temuan. Sebenarnya tugas Pak Azzam justru membuat kinerja menjadi bagus karena bank adalah instansi yang sangat menuntut kehati-hatian dari pekerjanya. Hanya saja, bagi beberapa oknum yang malas dalam berbenah atau bahkan nakal, pejabat AI macam Pak Azzam justru menjadi momok.
Feri sendiri menyambut Pak Azzam dengan santai karena dia merasa sudah berhasil mengatasi beberapa masalah yang jadi temuan Pak Azzam sebelumnya. Baginya, itu sudah prestasi. Setelah berbincang cukup lama di ruangan kepala KCP, keduanya lantas keluar untuk menunaikan salat Zuhur di musala seiring dengan azan yang dikumandangkan oleh Pak Rahmat, salah satu supir kantor yang bersuara merdu.
“Jadi, Pak Azzam nanti mulai dari operation dulu, nih?” tanya Feri sambil menggulung lengan kemejanya untuk berwudu.
Pak Azzam melepas kacamatanya dan mengangguk, “Bagian marketing masih lama saya obok-obok. Operation dulu, hehe…”
Feri ikut tertawa renyah. Mereka pun langsung berwudu. Lambat laun terdengar riuh dari arah pantry, sekuncup keramaian yang dipicu oleh gelak tawa orang-orang di dalamnya. Mereka terdengar sedang bercanda. Feri yang selesai berwudu langsung berbalik menuju musala, sedangkan Pak Azzam masih mengambil kacamatanya yang tergeletak di atas beton pembatas tempat wudu. Saat beranjak menyusul Feri, kuping Pak Azzam menangkap suara cekikikan yang tidak asing dari arah pantry. Dia pun berbelok sedikit menuju ruang itu dan melihat ke dalam melalui pintu yang terbuka. Seketika, pria itu tercengang.
“Zumi! Astagfirullah!”
Suara bentakan Pak Azzam otomatis membungkam semua orang yang sedang berada di pantry. Bobby, Zumi, Zulkifli, Miko, Agus serta Anita serempak menutup mulut. Raut mereka berubah tegang, terutama Zumi yang ditegur langsung oleh sang audit.
“Apa-apaan kamu kayak begitu? Pakai jilbabnya!”
Zumi langsung menarik jilbabnya ke atas kepala dengan gugup. Wajahnya pucat pasi. Pak Azzam lagi-lagi mendapati dirinya sedang membuka jilbab, membiarkan rambutnya terlihat lawan jenis yang bukan mahram. Jilbab yang tadinya menutup kepala sudah merosot di sekitar leher dan pundak. Zumi gemetar. Kali ini Pak Azzam benar-benar terlihat marah besar.
Tadinya Zumi memang hendak berwudu dan sudah membuka kaitan jilbab di bagian bawah dagu namun keramaian di ruang pantry mengusik niatnya hingga Zumi terpancing untuk bergabung. Dia menunda salat untuk bercanda sebentar dengan teman-temannya tapi nahas, bukan kegembiraan yang didapat malah amarah dari satu-satunya orang yang justru dia paling takuti apabila ketahuan membuka jilbab.
Pak Azzam menatap satu per satu wajah yang menunduk di ruangan itu. Tak ada yang berani bergerak. Diam bagai patung. Agus yang lapar sekalipun memilih untuk bertahan tidak menyentuh nasinya ketimbang ikut kena damprat. Zumi berdiri di tengah mereka, meremas kedua tangannya yang gemetar.
“Ada apa, Pak?” Feri tiba-tiba muncul di dekat Pak Azzam, “Saya dengar tadi Bapak teriak.”
Pak Azzam menghela napas. Dia menoleh pada Feri yang sedang kebingungan seraya melirik ke dalam pantry.
“Nanti kita bicara, Mas. Saya mau wudu lagi. Permisi.”
Mata Feri menangkap sosok Zumi yang diam tak berkutik dalam keadaan jilbab terbuka pada bagian leher dan hanya menutup ubun-ubun, tidak sampai ke jidat. Dia mulai memahami apa yang terjadi. Diam-diam rasa bersalah menggelayuti benak Feri akan tanggung jawab sebagai seorang pimpinan. Harusnya dia bisa menegur Zumi dari lama, bukan membiarkan. Sekarang, semua sudah terlambat. Zumi kena marah, menanggung malu dan itu tidak lepas dari abainya dia terhadap kesalahan anak buah. Sudah pasti, setelah ini, Pak Azzam pasti akan memberikan teguran keras. Sayup-sayup terdengar suara ikamah yang dilantunkan oleh Pak Rahmat. Feri pun meninggalkan pantry bersamaan dengan Pak Azzam yang sudah selesai berwudu.
***
Beberapa hari telah berlalu semenjak kejadian terbukanya jilbab Zumi tapi Pak Azzam baru mendatangi Feri malam ini, saat kepala KCP tersebut tengah bersiap pulang. Mengetahui Pak Azzam muncul di pintu ruangannya, Feri berhenti berbenah dan kembali duduk.
“Silakan masuk, Pak!”
Pak Azzam tersenyum tipis lalu masuk. Tangannya memegang buku catatan yang diselipi lembaran kertas terlipat. Setelah duduk di hadapan Feri, Pak Azzam langsung menuturkan maksud kedatangannya dengan wajah serius.
“Saya hendak melaporkan beberapa hal pada Mas Feri. Saya langsung saja, untuk menghemat waktu,” Pak Azzam membuka buku catatannya, “Pertama, masalah tata tertib berpakaian bagi pegawai.”
Feri menahan napas. Aduh, ini pasti masalah Zumi…
“Saya cukup heran dengan Zumi. Sudah beberapa kali saya tegur dia, tapi tetap tidak diindahkan juga. Saya tahu kalau Zumi dalam kehidupan sehari-harinya belum berhijab, tapi setidaknya, bila sedang berada di area kantor, aurat harus terjaga. Bila dia belum mengerjakan kewajiban sebagai muslimah, setidaknya dia harus mematuhi aturan di tempat ini. Ini kan bank syariah. Bagaimana kalau nanti ada nasabah yang melihat? Bukannya malah membuat citra bank menjadi buruk? Apa gunanya seragam bila tidak digunakan, sementara di bank syariah, bagi wanita, jilbab merupakan bagian dari seragam itu sendiri.”
Feri memilih untuk tetap diam dan mendengarkan Pak Azzam hingga selesai. Dia tidak akan membela Zumi untuk sebuah kesalahan berulang.
“Benar-benar kebiasaan buruk yang tidak patut dicontoh. Kita tidak bisa hanya menegurnya secara lisan. Kali ini, saran saya, Zumi harus dikenakan SP satu.”
Deg! Feri bergeming. Dia masih bungkam. Pak Azzam kemudian menunduk membaca catatannya.
“Poin kedua, saya kemarin melakukan cek ulang terhadap rekening perantara, memeriksa apakah pada akhir hari selalu nihil. Dan ini yang saya temukan.”
Tangan Pak Azzam mengambil kertas terlipat yang tadi disematkan dalam buku catatan lalu menyerahkannya pada Feri. Feri membuka kertas dan melihat isinya. Dia tercengang tatkala memperhatikan beberapa transaksi yang dilingkari Pak Azzam dengan spidol merah.