Zumi memandangi surat peringatan yang ditujukan bagi dirinya dengan pilu. Seumur hidup, baru kali ini dia mendapat teguran tertulis yang apabila diabaikan hingga dua kali akan berujung pada pemecatan. Zumi tak menyangka, sedemikian berat konsekuensi bekerja di bank syariah, amat berbeda dengan dunia penyiaran yang sudah ia geluti semenjak SMA.
“Kenapa lu? Lagi datang bulan?”
Ihsan yang baru datang sambil menenteng kantung plastik berisi bungkusan makan siang langsung duduk di sebelah Zumi. Pantry memang sedang sunyi. Hanya mereka berdua yang ada di ruangan itu.
“Ini, San, gue dapet SP…”
Ihsan mendelik, “Wah, gila! Hebat betul lu! Baru sekarang operator dapat SP. Dari dulu gue kerja di sini, udah berapa kali ganti operator, baru elu yang kayak gini! Kereeeen!”
Zumi langsung melotot, “Heh, gue ini dapat sangsi, kok malah disorakin? Lu tuh yang gila!”
Ihsan terbahak, “Sabar, Sis… Becanda doang!”
Zumi merengut, “Nggak asik, tahu!”
“Gue denger, si Zul juga dapat SP, yah? Kalian udah kayak janjian aja, dapat sangsi barengan.”
Zumi meremas sendok di tangannya, “Iiiih, makhluk yang satu itu! Dia itu pake telepon gue tiap jaga malam, dong? And you know what, gue sempat jadi tersangka sama Pak Azzam, dikira kerjasama dengan Zul, ngizinin dia pake telepon seenaknya. Asem! Untung dia jujur, nggak nyangkut pautin gue sama perbuatan itu. Sampe dia bohong, beneran gue remas!”
“Halah, jangan diremas! Entar kalo mati, lu ngegosip ama siapa lagi, coba?”
Zumi mencibir, “Masih ada Bobby! Anita juga lumayan diajak ngobrol!”
Ihsan tertawa mengejek, “Iyaaaa, tapi satu-satunya informan lu tentang mobil merahnya Mas Rei kan cuma si Zul! Pak Anwar, nggak se-hot dia dalam menyampaikan informasi. Apalagi Pak Dadang. Abis lu diceramahin soal ghibah! Hahahaaaaa!”
Bibir Zumi mengerucut. Dia mencubit lengan Ihsan sebelum melanjutkan makan siangnya yang tertunda karena meratapi surat peringatan dari kantor. Di balik dinding dekat pintu pantry, Feri berdiri dan mendengar semuanya. Ingatannya tiba-tiba kembali pada masa berminggu-minggu yang lalu, saat dia melihat Rei dijemput sedan merah di seberang kantor. Apa hanya aku satu-satunya orang di kantor ini yang tidak tahu tentang Rei dan pengendara mobil itu? Siapa dia sebenarnya?
***
Jam dinding menunjukkan pukul 16.57. Tiga menit lagi menuju waktu pulang. Sheila sudah selesai berbenah dan berdiri dari kursinya. Pak Fahmi masih berada di musala tapi transaksi sudah selesai dan semua emas sudah disimpan di khasanah jadi dia tidak perlu menunggu beliau dan bisa langsung pulang. Saat keluar dari gerai, Sheila berpapasan dengan Syahdan yang baru turun dari lantai tiga. Serta merta Sheila tersenyum pada Syahdan yang dibalas pria itu dengan sikap tersipu malu.
“Eh, Mbak Sheila udah mau pulang?”
“Iya, Syahdan. Kalo kamu?”
Syahdan semringah, “Belum, Mbak. Saya giliran bersih-bersih hari ini. Tinggal tunggu ruangan teller dan BO kosong.”
“Oh, ya udah, selamat bekerja, yah!” Sheila berjalan menuju tangga.
“Mbak Sheila pulang sendiri lagi?” Syahdan mengekor, mengejar gadis itu dengan pertanyaan menyelidik.
Sheila melirik Syahdan lalu mengangguk pelan.
“Oh, saya kira dijemput pacar…”
Sheila tergelak, “Saya nggak pacaran, Syah.”
Gadis itu mulai menuruni tangga, meninggalkan Syahdan yang terhenti langkahnya akibat terpukau kata-kata barusan. Saat bayangan Sheila hilang dari pandangannya, Syahdan spontan mengangkat kedua tangan.
“Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah! Engkau masih memberi hamba kesempatan besar untuk memiliki dia. Makasih! Semoga ke depan kami bisa lebih dekat lagi dan ngobrol lebih banyak lagi. Aamiin…”
“Lu naksir Sheila, yah, Syah?”
Zumi yang masih duduk di mejanya tiba-tiba menyeletuk, membuat Syahdan melonjak kaget.
“Astagfirullah! Sejak kapan kamu di situ, Zum?”
Zumi mengangkat sebelah alis, “Semenjak lu tadi turun dari lantai tiga dan terus-terusan mandangin Sheila.”
Aduh! Mati aku! Syahdan mengelap wajahnya dengan kedua tangan. Terbongkar sudah rahasianya selama ini. Apalagi yang tahu duluan adalah si biang gosip kantor.
“Cieeeeeeeh, si Syahdan!” Zumi bersorak.
“Apaan, sih? Sok tahu!”
Syahdan langsung berlari menuruni tangga, membiarkan Zumi larut dalam euforia baru atas terkuaknya rahasia cinta. Telepon di hadapan Zumi tiba-tiba berdering.
“Ya ampun, ni telepon! Udah jam pulang juga, masih bunyi aja!”
Dering panjang menandakan telepon dari luar kantor. Mau tidak mau Zumi harus mengangkatnya walau sebenarnya dia sudah bersiap pulang.
“Assalamu’alaikum. Dengan Zumi, operator. Ada yang bisa dibantu?”
“Wa’alaikumsalam. Bisa disambungkan dengan Bu April? Ini dari Pak Lukman, divisi pembiayaan bermasalah, kantor pusat.”
“Mohon maaf, Pak, Bu April hari ini tidak masuk karena sakit.”
“Penggantinya siapa?”
“Bapak Feri.”
“Kalau begitu tolong sambungkan saja dengan beliau.”
“Baik, Pak. Mohon ditunggu. Terima kasih.”
Zumi menekan tombol ekstensi ruang back office dan menyambungkan kedua pria itu. Feri seharian memang berada di lantai bawah, menggantikan April dalam hal otorisasi menggunakan user cadangan. Setelah menutup telepon, Zumi meraih tas mungilnya di atas meja, mengganti sepatunya dengan sandal lalu berdiri dan keluar dari meja operator. Sebelum dia sampai di tepi tangga, Cahyadi mendadak muncul dari bawah dengan wajah pucat serta napas terengah. Tangannya menggenggam ponsel dengan erat. Sambil lari terbirit, Cahyadi langsung menuju ruang marketing, melewati Zumi yang menatapnya dengan heran. Didorong rasa penasaran, Zumi pun berlari kecil mengejar pria kurus itu hingga sampai ke meja Agus.
“Aduh, Mas, gawat! Gawat! Mati kita!”
Agus yang sedang bersiap pulang langsung melotot pada Cahyadi.