Angga tersenyum tipis melihat Feri yang sedang duduk di hadapan seraya memakan puding cokelat dengan cuek. Dia menertawai lagak juniornya yang lucu, pura-pura terlihat baik-baik saja padahal kemarin baru disidang Pak Tegar habis-habisan di kantor cabang utama.
“Pelan-pelan aja makannya, Fer. Pudingnya nggak bakal lari ke mana-mana, kok! Nggak kayak nasabah mikromu yang suka kabur terus bikin sensasi di media online.”
Feri nyaris tersedak. Angga selalu punya sesuatu untuk meledeknya, berperilaku bak senior yang tiada henti melakukan plonco.
“Udah ditangani Rei. Aku tinggal tunggu hasilnya minggu depan. Semoga bisa cepat diverifikasi.”
“Kok bukan marketing mikro yang ngurus? AO-mu itu udah banyak kerjaan, loh. Urusan koperasi kan belum beres.”
Feri kembali mengunyah puding, “Lebih baik tidak melibatkan mereka lagi. Aku ingin pihak yang netral.”
Angga tergelak, “Netral? Rei nggak mungkin netral, lah! Dia kan banking staff. Pasti memihak cabang!”
“Setidaknya nggak emosional sama nasabah yang bikin ulah!” pungkas Feri sambil meletakkan sendok terbalik dalam mangkuk puding yang kosong.
Angga terdiam. Dia mulai membaca ekspresi tidak senang di wajah Feri.
“Kamu lagi kesal, yah?”
Feri menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan mendengus pelan. Angga lalu paham bahwa pria muda itu mulai jengah dengan beban di pundaknya.
“Prestasi cabangku anjlok. Aku baru lihat tadi dari neraca dan laporan lainnya.”
Angga mengangkat kedua alisnya. Pada hari pertama di awal bulan, admin pembiayaan memang selalu mencetak neraca dan laporan hasil pencapaian cabang pada bulan sebelumnya. Meskipun bisa dilihat pada sistem dalam user mereka, tapi baik Angga maupun Feri lebih senang membacanya melalui versi cetak.
“Kemarin itu padahal ada beberapa WO yang bisa bikin nilai NPF lumayan turun. Penagihan koperasi serta nasabah bermasalah juga cukup berhasil. Laporan kolektibilitas berangsur bagus. Aku udah senang. Tapi ternyata banyak juga yang aku lewatkan. Run off tinggi. Di akhir bulan masih ada aja pelunasan percepat. Banyak pencairan tertunda karena para marketing sibuk di luar, jadi kita nggak capai target sama sekali. Udah gitu, ada sejumlah pengeluaran kantor di luar kebiasaan bulanan seperti sewa mobil penagih dan biaya bensin tambahan. Kupikir-pikir, untuk bulan yang baru ini, kami nggak bisa begini terus. Harus ada cara lain. Capek, Mas, dan menguras keuntungan cabang. Masalah nggak tuntas, hanya selesai sementara.”
Angga manggut-manggut sembari menyalakan rokok keduanya di malam itu.
“Kamu sih, kecepetan ngerayainnya! Udah aku bilang, kan?”
Dia menghisap rokok itu dalam-dalam lalu mengembuskan asap tebal. Di antara kabut asap, Feri menatapnya dengan sedikit penyesalan menggenang.
“Saran aku, baiknya kamu hubungi Pak Lukman lagi, minta nasihat jalan keluar gimana. Atau kamu coba improvisasi lah, Fer! Kamu kan dulu salah satu AO dengan kinerja terbaik di kota ini. Kamu pasti bisa nemu jalan keluarnya! Restruktur mungkin bisa.”
Feri menggaruk kepalanya tanpa gatal berarti, “Nanti kupikirkan lagi, Mas. Capek aku.”
Angga terkekeh sekaligus kasihan, “Emang ngapain kamu seharian?”
“Otorisasi. Buka cabang, tutup cabang. Moga-moga besok dan lusa ATM nggak error biar aku bisa istirahat full di rumah, supaya Senin udah segar lagi.”
“Kamu butuh liburan, Fer, bukan cuma rebahan doang. Piknik, dong! Atau coba berenang.”
“Aku nggak bisa berenang, Mas.”
Angga menahan tawa, “Ya minimal berendam di kolam sambil semedi. Lumayan kan, dapet segernya. Siapa tahu kamu juga dapat jodoh di sana.”
Feri tersenyum kecut. Aduh, masalah kawin lagi! Ungkit aja teruuuussss!
“Moga-moga Senin Mbak April udah masuk, soalnya Pak Azzam mau cash count uang di khasanah. Kan banyak itu, makan waktu. Kalau ada dia, aku bebas mikir yang lain.” ujar Feri mengalihkan pembicaraan.
“Emang April sakit apaan? Kok berhari-hari nggak masuk?”
Feri menelan ludah. Matanya tertuju ke bawah, enggan menatap Angga yang diperkirakan bakal tertawa.
“Ngidam. Hamil lagi dia, anak ke empat.”
Angga tergelak seketika. Feri spontan menunduk dengan mimik pasrah.
“Fer, kamu emang benar-benar butuh berenang!”
***
Di Senin sore yang cerah, Feri bisa sedikit bernapas lega. Berita verifikasi mengenai penagihan sembrono oleh cabang mereka sudah dimuat. Langkah selanjutnya yang akan ditempuh adalah menemui sang nasabah. Feri belum yakin keputusan apa yang akan dia ambil. Apakah masih bermusyawarah dulu untuk permintaan maaf atau langsung menuntut orang itu lantaran nama baik institusi perbankan mereka sudah kadung tercemar.
Feri bersandar di kursinya dan menggeliat. Pikirannya menerawang. Meskipun urusan Rei secara pribadi masih diselimuti kabut rahasia namun pria itu selalu bisa diandalkan. Bila dipikir lebih jauh, Feri memilih untuk tidak menguak misteri sedan merah Ray apabila tidak berpengaruh pada kinerjanya di kantor. Hanya saja, ada gamang yang terselip karena Pak Azzam sudah turut campur di sana dengan beberapa kali meminta Feri memperhatikan prestasi Rei yang dianggapnya merosot dalam pekerjaan. Bila hanya masalah kekasih, kenapa jadi sorotan? Teman sekantor bergosip rasanya lumrah saja, tapi bagaimana dengan audit yang notabene juga seorang hanif? Nggak mungkin Pak Azzam buang-buang energi hanya untuk ghibah belaka!
Dering telepon lantas membuyarkan lamunan Feri. Dia melirik jam dinding yang terpampang di hadapan. Sudah hampir jam enam… Siapa yang menelepon sesore ini? Diangkatnya telepon tersebut.
“Assalamu’alaikum. Dengan Feri, ada yang bisa dibantu?”
“Wa’alaikumsalam. Mas Feri, ini dengan Pak Azzam. Bisa turun ke ruang BO sekarang juga?”
Kening Feri mengerut. Lah, masih ada orang di ruang BO? Belum pada pulang, yah? Feri melirik lagi jam dinding, memastikan benda itu tidak mati dan waktu yang ditunjukkan memang benar memasuki waktu petang.
“Ada apa, yah, Pak?”
“Saya tidak bisa menjelaskan di telepon. Mohon Mas Feri turun sekarang juga. Kami tunggu.”
Nada suara Pak Azzam terdengar berat dan serius. Kami? Siapa saja yang masih berada di BO? Feri menutup telepon lalu berjalan cepat keluar dari ruangan. Setiap derap langkahnya kala menuruni anak tangga menuntun pada perasaan cemas yang makin melebar. Saat pintu BO dibuka, Feri mendapati lima orang di dalamnya. Rendra dan Rian berdiri bersebelahan di dekat meja printer dengan muka tegang. Pak Azzam berdiri dengan tangan bersedekap di depan meja April. April sendiri duduk diam di kursinya dengan mimik dingin, sedang Anita berada di antara mereka berdua, berdiri di sisi meja April sembari menunduk dan menangis. Feri melangkah perlahan.
“Ada apa ini?”