Hari itu, kantor lebih hening dari biasanya. Tak banyak canda tawa yang terjadi antar pegawai. Senyum dan sikap ramah hanya hadir di wajah para frontliner sebagai kewajiban mereka terhadap nasabah. Selebihnya, kaku dan dingin. Feri bagaikan tengah menyebarkan aura negatif pada setiap orang sebab tak ada yang lebih disegani oleh para bawahan selain pimpinan yang tengah dirudung amarah.
Rei mengirim surat pengunduran dirinya lewat kurir daring. Dia meminta Mia untuk memberikannya pada Feri. Saat menerima surat tersebut, Feri bahkan tidak menyentuhnya. Dia hanya menyuruh Mia meletakkannya di atas meja lalu fokus kembali pada pekerjaan. Hari itu Feri nyaris tidak berbicara dengan siapa pun, termasuk pada Pak Azzam yang hendak pamit karena tugasnya di cabang itu sudah selesai. Mereka hanya bertemu sesaat di ruangan Feri, berjabat tangan lantas saling mengucap terima kasih. Pak Azzam sendiri tidak mengungkit masalah Rei lagi. Setelah urusan pamit selesai, audit hanif itu langsung keluar ruangan, meninggalkan Feri kembali dalam kesendirian.
Waktu berjalan lambat dan tak seorang pun berniat lembur. Kala jam pulang tiba, semua orang beranjak dari mejanya, bergegas menuju rumah atau tempat lain. Tersisa tiga orang di kantor itu. Dua lainnya menetap karena kewajiban kerja, sementara Feri memang enggan untuk pulang. Senja bergulir dan Magrib akhirnya tiba. Feri berjalan lesu menuju musala seiring dengan lantunan azan yang dibawakan oleh Pak Dadang. Usai mengambil wudu, terdengar Syahdan menyuarakan ikamah. Kendati demikian, langkah Feri tetap berat dan terseret. Dia memilih untuk masbuk sembari menikmati sembilu.
Usai salat, Syahdan turun duluan ke lantai dasar untuk menyelesaikan pekerjaan bersih-bersihnya sementara Pak Dadang lanjut dengan mengaji. Pintu utama sudah dikunci jadi cukup aman untuk ditinggal sebentar. Di bawah jendela musala yang lebar, Feri berbaring sambil tengadah. Pikirannya kosong. Lantunan ayat suci yang digaungkan Pak Dadang lantas mampir di telinganya. Perlahan, Feri menemukan kedamaian di sana, sesuatu yang ia rindukan sejak lama. Feri larut dalam haru. Betapa selama ini dia terlalu mengorbankan hidup untuk pekerjaan sampai lupa melakukan amalan. Salat, puasa, zakat, semua hanya dilakukan sebagai pemenuhan kewajiban, bukan atas dasar kerinduan. Feri tersadarkan. Kemarin ia masih bocah marketing pintar yang selalu mencapai target serta purna dalam pekerjaan. Hari ini, dia tak lebih dari pecundang. Dimusuhi anak buah, dicurangi, dibohongi. Embusan napas berat keluar dari mulutnya yang terbuka. Feri menutup mata.
“Pak Feri? Pak?”
Mata Feri terbuka. Sosok Pak Dadang berdiri di sebelahnya, setengah membungkuk.
“Ya, Pak Dadang?”
“Maaf, Pak, saya sudah mau ke bawah. Pak Feri mau tetap di musala?”
Feri bangkit dan duduk bersila, “Oh, iya, silakan, Pak. Saya di sini saja.”
Pak Dadang mengangguk pelan dengan senyum mekar di wajah, “Baik, Pak. Saya permisi dulu. Mari…”
Satpam paruh baya itu lalu membalikkan badan. Menatap punggungnya, Feri tiba-tiba terpicu untuk memanggil.
“Pak Dadang?”
Langkah Pak Dadang terhenti. Dia berbalik.
“Iya, Pak?”
“Bisa ke sini sebentar?”
Pak Dadang mengangguk lagi dan berjalan tergopoh mendekati Feri. Setelah sampai di hadapan atasannya tersebut, Pak Dadang langsung duduk bersila.
“Ada apa, Pak?” tanyanya santun.
Sempat terbersit keraguan dalam benak Feri sebelum akhirnya dia berani berbicara. Tatapannya lurus terarah pada wajah Pak Dadang yang teduh.
“Tolong nasihati saya, Pak.”
Pak Dadang mendelik, seketika tertegun karena diminta sesuatu yang tidak biasa oleh pimpinannya.
“Maaf, Pak, maksud Pak Feri apa yah?”
“Nasihati saya, Pak. Pak Dadang kan sudah tahu apa yang terjadi belakangan ini, tentang rentetan masalah yang terjadi. Nasihati saya. Itu saja.”
Pak Dadang terdiam sesaat. Ada rasa sungkan menyeruak dalam dirinya atas permintaan yang mendadak itu. Bagaimana mungkin saya yang hanya seorang satpam lantas menasihati pimpinan sendiri? Apa tidak salah? Melihat ekspresi ragu di wajah Pak Dadang, Feri terpicu untuk bicara lagi.
“Pak, mohon jangan lihat saya saat ini sebagai pimpinan Bapak. Saya yang duduk di hadapan Pak Dadang sekarang hanyalah Feri, seorang manusia biasa yang sudah banyak khilaf. Saya butuh nasihat dari orang yang lebih mafhum tentang kehidupan. Dalam agama, terus terang saya masih jauh. Jadi, jangan sungkan. Anggaplah saya ini anak Bapak yang sedang butuh nasihat orang tuanya.”
Pak Dadang menghela napas. Dia mengangguk pelan. Senyum tipis kembali terbit di wajahnya, menyebarkan aura syahdu.
“Apa yang Pak Feri rasakan saat ini? Mari kita mulai dari situ.”
Senyap sesaat. Feri tengah memahami perasaannya sendiri sebelum bicara.
“Saya merasa kalah, Pak Dadang, seperti pecundang. Sebelumnya saya tidak pernah mengalami hal ini. Rasanya hidup saya lebih tenang saat masih jadi AO. Saya tak punya musuh, pun tak gentar menghadapi nasabah bermasalah. Senakal-nakalnya mereka, tidak sama jahat dengan apa yang dilakukan anak buah saya. Beban ini terlalu berat, Pak. Andai bisa kembali, saya ingin jadi marketing saja lagi. Terkadang, saya merasa, sepertinya diri ini yang terlalu salah. Mungkin bukan mereka yang jahat, tapi saya! Saya yang membiarkan semua terjadi. Saya yang lalai. Harusnya saya tidak berada di sini karena kurang becus mengurus cabang. Bagaimana saya harus mempertanggung jawabkan semua ini? Baru beberapa bulan saja, sudah berapa pegawai yang kena SP, dipecat dan keluar dengan sikap permusuhan? Bagaimana nanti ke depan? Apa salah saya hingga diwarisi beban sebanyak ini oleh Pak Gunawan? Saya geram, Pak Dadang. Saya marah tapi entah pada siapa atau karena apa. Sebab itulah, saya juga tidak bisa menemukan solusi untuk meredamnya.”
Pak Dadang tersenyum lagi. Dia menatap Feri yang sedang tertunduk.
“Kalau begitu, sekarang saya tanya lagi. Menurut Pak Feri, siapa yang menempatkan Bapak di sini?”
Feri mengernyit, “Mungkin Pak Seto, atasan saya di cabang lama dulu atau mungkin Pak Tegar? Saya kurang tahu juga. Tiba-tiba sudah ditawari jabatan ini oleh mereka berdua.”
“Maksud saya, si-a-pa yang menaruh Bapak di tempat ini?” Intonasi Pak Dadang sedikit berbeda saat menyebutkan kata “siapa”.
Feri termangu. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengerti sebelum bergumam pelan.
“Allah.”
Pak Dadang menyambut jawaban itu dengan kepuasan.
“Kalau begitu, kenapa Allah berbuat demikian? Kenapa Pak Feri tidak dijadikan AO saja terus-terusan dengan pekerjaan yang lebih ringan? Kenapa?”
Dua pria itu saling berpandangan. Bibir Feri mengatup, enggan menjawab pertanyaan Pak Dadang yang memang tidak perlu dijawab. Mereka sudah sama-sama tahu jawabannya. Feri hanya butuh disadarkan.
“Pak Feri, maaf, saya bukan ustad, bukan orang bijak, tapi saya berani mengatakan bahwa ditempatkannya Bapak di sini bersama kami pasti untuk sebuah alasan yang baik. Allah selalu lebih tahu mana yang terbaik buat kita. Selalu ada hikmah di balik musibah. Melihat semua yang sudah terjadi, saya hanya bisa mengatakan bahwa ini belum selesai. Perlu seseorang yang kuat dan tangguh untuk itu dan mungkin Pak Ferilah orangnya.”
Feri termangu. Dia seperti dibangunkan dari mimpi buruk dengan cara yang lembut.
“Allah selalu tepat waktu, Pak. Tidak pernah Dia terlambat atau terlalu cepat. Coba Pak Feri pikirkan sejenak, bilamana saat ini Pak Gunawan masih memimpin cabang ini. Apa beliau akan mengambil keputusan seperti yang Bapak lakukan?”