Senin pagi, selesai doa bersama, Feri pun membuka hari dengan ceramah panjang. Biasanya di setiap kegiatan tersebut, dia tidak banyak bicara dan hanya membuka serta menutup acaranya bila doa sudah selesai dipanjatkan. Pengumuman dari pegawai lain adalah tambahan bila diperlukan. Hari itu, atas sebab berbagai peristiwa yang terjadi di cabang, untuk pertama kalinya Feri berbicara panjang lebar di hadapan seluruh pegawai.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Semua menjawab salam bersamaan.
“Teman-teman semua, pertama-tama, saya memohon maaf bila selama menjabat sebagai pimpinan cabang ini, ada kesalahan yang saya lakukan pada anda sekalian. Saya hanya manusia biasa, bila khilaf, sekali lagi mohon dimaafkan.”
Beberapa wajah mulai menunjukkan ekspresi bingung mendengar perkataan Feri.
“Kenapa saya meminta maaf sepagi ini, di hadapan anda semua? Karena saya ingin menghilangkan beban dalam jiwa saya. Ada kelegaan tersendiri saat saya bisa mengetahui bahwasanya saya dimaafkan, yang dengan demikian menunjang mood saya seharian untuk bisa bekerja lebih baik karena tak lagi memikirkan beban dosa atas kesalahan pada orang lain. Untuk itu, sekali lagi, mohon maafkan saya bila sempat melakukan salah pada teman-teman semua.”
April melirik jam dinding. Dia sedikit resah Feri akan berbicara lama dan nasabah telanjur mengantri di depan pintu.
“Nah, sekarang, saya meminta agar teman-teman sekalian saling minta maaf dan memaafkan pula. Mari kita muhasabah diri kita sendiri tentang apa saja kesalahan kita selama bekerja. Kenapa ini penting? Seperti yang kita ketahui bersama, ada dua macam nasabah pada institusi perbankan yaitu nasabah eksternal dan nasabah internal. Nasabah eksternal adalah mereka yang setiap hari kita layani dengan senyum, masyarakat di luar kantor ini, orang yang kebanyakan tidak kita kenali secara personal. Lalu, nasabah internal. Siapa nasabah internal itu? Ya kita-kita ini, komunitas dalam perbankan, orang yang setiap hari bertatap muka dan sangat kita kenal. Mana yang lebih penting? Nasabah eksternal atau internal?”
“Internal.” Pak Fahmi menjawab pertanyaan Feri.
“Betul!” Feri mengangguk pada Pak Fahmi, “Teman-teman semua, aspek paling penting untuk membangun cabang kita ini ya diri kita sendiri, para pegawai, komunitas di dalam kantor, nasabah internal! Faktor luar itu juga penting tapi sesuatu yang kuat itu selalu dibangun dari dalam terlebih dahulu. Bagaimana kita akan membuat cabang ini baik apabila ada gesekan di antara pegawainya? Gesekan yang saya maksud di sini adalah perilaku yang berdampak negatif. Contoh saja, cara kita menyapa atau memanggil teman kita.”
Mata Feri melirik Agus yang mendadak kaku.
“Dalam hal candaan, silakan kita memanggil rekan dengan sesuatu yang lucu selama dia tidak tersinggung. Tapi, apabila dia tidak menyukai cara kita memanggilnya, maka jangan lakukan itu terus menerus. Dampaknya apa? Dia akan kurang menyukai anda dan ogah-ogahan membantu anda dalam pekerjaan. Bayangkan! Bagaimana kinerja kita bisa bagus kalau modelnya seperti itu sementara dalam pekerjaan ini kita saling membutuhkan satu sama lain? Kita wajib bekerjasama, tidak bisa melakukannya sendirian. Setiap bagian itu terkait dan seharusnya bersinergi!”
Agus menelan ludah. Sofyan diam-diam meliriknya dan tersenyum tipis.
“Selanjutnya, masalah ghibah.”
Beberapa pegawai gantian tegang karena merasa akan disentil. Salah satunya Zumi.
“Saya paham bahwa sesekali kita butuh bercerita untuk menghilangkan penat. Silakan saja. Saya tidak akan melarang anda, namun, sebagaimana seorang pimpinan, saya wajib menegur siapa pun yang hobinya bergosip di kantor ini.”
Mata-mata mulai saling berpandangan. Beberapa senyum mengejek dan senyum kecut tercipta di ruangan banking hall tersebut.
“Tolong hindari pembicaraan yang tidak bermanfaat. Kita ini bank syariah maka cobalah berperilaku syariah. Ghibah, termasuk memanggil orang dengan panggilan buruk dilarang oleh agama. Bagaimana kerja kita mau berkah apabila dalam setiap langkahnya mengandung dosa? Hati-hati! Membicarakan aib teman sendiri atau pun nasabah adalah sesuatu yang buruk dan saya tidak suka hal itu terjadi di lingkungan kerja kita. Mulai sekarang, mari kita belajar berkata yang baik. Silakan berdiskusi tentang pekerjaan, tentang agama, olahraga, film, apapun tapi jauhkan gosip! Ingat, lebih baik diam daripada berkata buruk. Selain itu, bergosip itu tidak manfaat. Hanya membuang waktu kita yang bisa digunakan untuk bekerja. Jadi, mulai sekarang, mari kita buat suasana kantor kita menjadi lebih nyaman dengan menjalin hubungan yang baik antar sesama pegawai dan menghentikan kebiasaan buruk ghibah.”
April mulai merasa mual. Dia melirik jam lagi sebagai pengalihan. Beberapa pegawai mulai merasa kakinya pegal, terutama para wanita bersepatu hak tinggi.
“Terakhir dan ini yang paling penting!”
Wajah-wajah lega mulai nampak di ruangan itu.
“Sehubungan dengan masalah maaf, saya ingin kita semua meminta maaf terbesar dari sang Khalik, Allah ta’ala.” Nada suara Feri mulai turun dan syahdu, “Saya ingin bertanya pada anda semua, sejauh mana anda menempatkan Allah dalam hidup anda, terutama dalam pekerjaan ini?”
Senyap. Semua terdiam memikirkan kalimat Feri selanjutnya. Beberapa juga heran dengan sambutan pagi yang mulai bersifat religius itu karena bukan ciri khas dari pimpinan mereka.
“Mungkin kita perlu menilik ke belakang, kenapa cabang kita bisa kacau seperti ini. Apa niat kita bekerja selama ini? Uang? Jabatan? Gengsi? Mungkin kita salat tepat waktu, tapi apa Allah menerima ibadah kita? Mungkin kita puasa, tapi apa hanya sampai di situ saja? Teman-teman, saya rasa permohonan maaf terbesar harus kita haturkan pada Rabb yang sudah menciptakan kita, atas lalainya kita selama ini, malasnya kita beribadah dan niat yang salah.”
Rahang Sofyan mengeras. Kini dia yang ditatap balik oleh Agus dengan wajah prihatin.
“Kita, saat ini juga, harus memohon ampun dan muhasabah diri. Luruskan niat. Jadikan pekerjaan ini sebagai ibadah karena dalam agama kita, bekerja mencari nafkah adalah sama dengan jihad. Jangan bengkokkan niat kita hingga semua usaha jadi sia-sia.”
Feri menatap wajah para pegawainya satu per satu dengan mimik serius.
“Saya sungguh kecewa dan sedih dengan kejadian akhir-akhir ini yang menimpa rekan-rekan kita. Bagaimanapun, tindakan mereka tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Ada sesuatu yang hilang di sini. Mungkin ketiadaan ihsan, lupa bahwa Allah Maha Melihat yang membuat semua hal itu terjadi. Namun, selaku pimpinan, saya tahu, itu juga bagian dari kesalahan saya. Saya telah lalai. Mungkin saya yang niatnya belum lurus. Saya bahkan tidak bisa menolong mereka pada detik-detik terakhir,”
Suara Feri tercekat. Dia nyaris tidak sanggup meneruskan karena terhanyut emosi. Semua yang ada di ruangan itu ikut larut dalam haru. Mata Zumi, Mia dan Galuh mulai sembab. April sendiri merasa tertohok. Dia tak tega melihat pimpinannya harus menanggung semua beban itu sendirian. Feri terdiam beberapa saat untuk menguatkan diri. Dia menarik napas lantas meneruskan bicara.
“Cabang kita sedang diterpa badai bisa jadi merupakan teguran dari Allah. Seperti kelakarnya Rendra tadi malam pada saya, bangkrut kok syariah? Jadi, itu pula yang mengilhami saya untuk memperbaiki cabang kita mulai dari sisi syariahnya.”
Rendra mendelik karena kaget namanya disebut. Dia lalu menahan senyum, sedikit bangga karena menjadi sumber inspirasi bagi Feri.
“Karena itu, mulai hari ini, mari sama-sama kita benahi diri kita, luruskan niat kita. Buktikan pada semua bahwa kita adalah bagian dari perbankan syariah yang tangguh! Bertindaklah sesuai syariat! Hiduplah dalam syariat! Agama sudah punya tuntunan bagi kita untuk menghadapi hidup, maka mari laksanakan itu semua! Bila hari kita dimulai dengan bismillah, maka akhirilah dengan alhamdulillah. Yang ingin salat Dhuha dengan rakaat sebanyak mungkin, silakan lakukan. Sebelum penagihan, salat sunnahlah dahulu agar Allah memudahkan segala urusan. Amalkan semua yang bisa diamalkan. Niatkan semua untuk mencari rida Allah. Yakin kita bisa! Yakin Allah akan tolong kita keluar dari bencana. Insyaallah!”
Perlahan, gempuran tepuk tangan mulai terdengar mengisi ruangan banking hall. Feri tidak menyangka dia akan sesemangat itu, bahkan mendapat apresiasi di luar dugaan dari para pegawai. Semua bertepuk tangan. Banyak dari mereka tersenyum haru.
“Masya Allah, luar biasa, Pak Feri!” jerit Zumi sambil terus menepuk tangan sekuat mungkin.
Doa pagi itu pun ditutup Feri setelah suara tepukan mereda. Hari itu, semua pegawai menjadi lebih bersemangat dari biasanya, dengan niat yang sudah diluruskan serta haru yang menyeruak dalam jiwa.