Rendra berjalan dari ruang marketing sambil membawa selembar kertas yang dijepit rapi pada map hijau. Langkahnya terhenti di depan meja operator saat Zumi menyapa. Bersamaan dengan itu, Syahdan menuruni tangga perlahan dari lantai tiga.
“Apaan tuh, Ren?” tanya Zumi sambil melihat jerawatnya melalui cermin bedak padat yang terletak di atas meja.
Rendra tersenyum lebar, “Draf akhir iklan lowongan kerja buat dikirim ke media cetak. Tadi dilihat Pak Feri dulu.”
Zumi mendelik, “Oh, lowongan buat posisi apa?”
“Teller sama penaksir gadai.”
Syahdan yang baru saja menginjakkan kaki di lantai dua mendadak berhenti bergerak. Dia terkejut mendengar kata-kata “penaksir gadai”.
Zumi mengernyit, “Teller dan penaksir gadai?”
Rendra mengangguk, “Iya. Buat pengganti Anita dan Mbak Sheila.”
Deg! Jantung Syahdan serasa mau copot. Apa Mbak Sheila akan berhenti dari sini?
“Idih, masak?” Suara Zumi meninggi seiring rasa terkejutnya, “Emang Mbak Sheila mau ke mana?”
“Tanya aja sendiri ama orangnya!” Rendra cengengesan penuh arti.
“Lagi keluar take over dia! Gimana mau nanya?”
Rendra membelalakkan mata, melirik ke arah gerai gadai yang kosong kedua mejanya lalu kembali menatap Zumi.
“Hayo, jawab, Ren! Mbak Sheila mau pindah atau?” buru Zumi dengan ketus.
Rendra menarik napas, “Resign, Zum.”
Zumi mendelik sementara Syahdan menahan napas sambil terus mematung dekat tangga.
“Loh, kenapa? Ada kerjaan di tempat lain?” Zumi mencecar Rendra.
“Nggak. Orang dia mau kawin, kok! Ikut suami ke luar kota!”
Syahdan langsung terperangah. Hatinya remuk seketika. Ingin teriak, tapi malu.
“Oh, woooooow!” Zumi mengangkat kedua tangan ke samping wajahnya yang menunjukkan ekspresi takjub, “Dari dulu bilang nggak punya pacar dan tiba-tiba mau nikah? Amazing!”
Rendra tertawa renyah, “Doi kan ta’aruf, Zum. Kabarnya dijodohin teman satu pengajian gitu, hehe…”
“Aiiiiihhhhh, kereeeeeeen!” Zumi mengepalkan kedua tangan di sisi kiri wajah dengan mimik teramat manis bak karakter kartun bermata hati dalam komik-komik, “Mau dong eikeeee!”
Rendra terbahak, Zumi cekikikan, Syahdan makin hancur.
“Terus, kenapa nggak minta pindah aja ikut lokasi suaminya? Kan bisa kalau alasannya ikut suami?”