Usai berbenah cukup panjang dan dengan banyak pengorbanan, usaha Feri dan para pegawai di KCP itu mulai membuahkan hasil. Ketika bulan baru menjelang, Feri bisa tersenyum memandangi laporan kinerja cabang. Neraca, laba rugi, kolektibilitas dan laporan lainnya dicetak Sofyan di pagi hari dan diberikan pada Feri usai doa bersama. Tak ada kata yang lebih pantas dia ucapkan setelah menerima semua hasil tersebut selain “Alhamdulillah”.
Kantor yang kembali menghidupkan syariat adalah kepuasan tersendiri bagi Feri. Dia bahagia melihat dirinya dan para pegawai mulai konsisten menjalankan ibadah. Gosip sedikit berkurang walau belum punah sepenuhnya. Antara rentang pagi hingga siang, musala kerap didatangi pegawai atau nasabah yang hendak salat Dhuha maupun sunah lainnya. Kini bukan hanya Pak Dadang atau Pak Rahmat yang suaranya sering mengisi kumandang azan. Feri menggiatkan kaum lelaki untuk berani berkoar, memanggil umat untuk sujud melalui jabatan muazin, meski kadang-kadang ada saja suara sumbang yang bergaung lantas memancing tawa, tapi semua tetap bergembira dengan keadaan itu.
Acara pengajian diadakan selang-seling antara ceramah dan kegiatan belajar mengaji demi memperbaiki bacaan. Feri sendiri tak malu memulai pembelajaran tajwid karena dia sudah lama tak baca Al-Qur’an. Prinsipnya, pimpinan harus memberi contoh, bukan perintah. Walaupun ada satu dua pegawai yang masih ogah-ogahan, tapi nuansa syariah telah kembali terasa dalam keseharian hidup mereka.
Siang itu Feri iseng turun ke ruangan back office untuk melihat berkas-berkas lamaran yang sudah masuk. Info lowongan kerja mereka cukup berhasil dan memancing ratusan orang untuk memasukkan lamaran. Dibantu oleh April, Feri melihat satu per satu map warna-warni serta amplop cokelat besar yang tertumpuk di atas meja. Di belakang mereka, Sofyan sedang bekerja dengan hikmat, sementara Rendra pergi untuk kliring.
“Jadi ingat zaman kita dulu waktu ngirim lamaran kerja, yah, Mbak?” ucap Feri sambil tersenyum.
April mengumbar senyum tipisnya, “Kebanyakan wanita, Pak. Buat teller kebanyakan fresh graduate, sementara penaksir gadai ada yang udah pengalaman kerja di tempat lain atau bank lain.”
“Udah dipisah-pisah, kan?”
April mengangguk. Feri menutup map di tangannya lalu mengambil amplop cokelat di tumpukan berkas yang belum tersentuh. Setelah membuka amplop itu, ditariknya lembaran kertas yang dijepit dengan staples. Feri mendelik tatkala membaca nama pengirim lamaran itu.
“Hei, yang ini namanya Anita juga!”
April memanjangkan leher untuk mengintip berkas di tangan Feri. Feri lantas mendongak padanya.
“Eh, Anita apa kabar, yah, Mbak?”
April terdiam sebentar. Dia sama sekali tidak punya jawaban untuk Feri. Semenjak dipecat, Anita seperti menghilang. Bahkan di media sosial pun dia tak pernah melakukan update status lagi.
“Saya tidak tahu, Pak.”
Feri yang kali ini gantian terdiam. Dia memikirkan sesuatu. Pintu tiba-tiba terbuka dan Agus muncul dengan berkas pencairan di tangan. Dia langsung berjalan menuju Sofyan.
“Sof, minta tolong cairin hari ini, yah? Nasabahnya udah butuh soalnya. Kasihan.”
Feri tersenyum mendengar Agus yang sudah melafalkan nama Sofyan dengan benar, tanpa nada mengejek lagi.
Sofyan mengambil berkas dari tangan Agus, “Abis makan siang, yah, Mas. Sekarang masih banyak kerjaan.”
Agus mengangguk, “Sip! Makasih, yah, Sof.” Agus berbalik, pamit pada Feri lalu keluar dari ruangan.
Feri melirik jam tangan. Hampir masuk waktu Zuhur… Dia meletakkan kembali berkas lamaran ke tumpukan di atas meja April.
“Mbak April, bisa bantu saya?”
“Bantu apa, Pak?”
“Tolong cari kabar Anita.”
April mengangguk pelan dengan ekspresi datar. Feri lantas berdiri, bertepatan dengan kumandang azan yang menyeruak lewat pengeras suara. Dia menunggu azan selesai sambil memerhatikan sekeliling. Sofyan terus saja fokus mengetik, tidak mengindahkan panggilan salat bahkan tidak sadar apabila azan tersebut sudah selesai. Seseorang lantas memegang pundaknya. Dia menoleh.
“Eh, Pak Feri?”
Feri tersenyum simpul, “Sof, udahan yuk kerjanya. Kita ke atas dulu.”
“Maaf, Pak. Saya masih banyak kerjaan.”