Senin yang cerah, bertepatan dengan awal Ramadan. Pak Anwar menyambut nasabah yang datang dengan membukakan pintu serta memberi salam. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, Zulkifli sedang membantu seorang nasabah mencari slip yang tepat untuk transaksi yang akan dilakukannya. Bank cukup ramai hari itu. Galuh sedang melayani nasabah pria bernama Edo yang notabene menaksirnya sejak lama. Demi mendekati Galuh, Edo memang sudah memasang strategi. Dia sengaja datang di waktu Pak Dadang jaga malam agar lolos menemui sang wanita pujaan.
Miko sendiri sedang melayani seorang nenek dengan pendengaran yang sudah sangat payah. Dengan susah payah dia menjelaskan berulang-ulang perihal kode transaksi dalam buku tabungan yang ditanyakan nenek tersebut. Dari sisi ruang yang lain, Bobby menertawakan Miko lewat senyum mengejek yang menghiasi wajah. Perhatiannya tak pernah luput dari hal kecil walau sedang merapikan majalah dan koran yang sudah selesai dibaca nasabah. Di balik meja teller, Rian tengah mengajari pegawai baru bernama Puspa yang menggantikan posisi Anita.
Pada lorong menuju tangga, Syahdan berdiri di depan pintu BO dan mengetuk beberapa kali. Dia kemudian masuk lantas langsung menemui April yang meminta bantuannya untuk fotokopi berkas. Tatkala Syahdan keluar dari ruangan, telepon di meja Rendra berbunyi dan dia mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum, dengan Rendra, back office. Ada yang bisa dibantu? Ya, Pak? Oh, oke, Pak! Nanti saya bilang ke dia. Makasih!”
Rendra meletakkan gagang telepon lantas menoleh pada Sofyan. Mimiknya langsung berubah semangat dengan mata berbinar
“Sof, Lisa datang, tuh! Udah di lantai dua, ruang kaca. Hehe…”
Sofyan melirik Rendra. Mulai lagi ni anak! Dia mendengus pelan. Akhir-akhir ini, gosip baru berkembang di tempat itu, bahwa Sofyan yang kaku dan dingin tengah jatuh hati pada Lisa, petugas notaris yang cantik jelita. Rendra sering meledek Sofyan saat Lisa datang untuk mengantar berkas yang biasanya hanya dibalas tatapan tajam oleh Sofyan tanpa kalimat pembelaan. Entah siapa yang menyebarkan duluan, namun benar atau tidaknya berita itu masih jadi tanda tanya karena Sofyan tetap bungkam dan cuek.
“Pergi sanaaaa! Udah ditunggu si nona manis! Kece amat kalian kalo nanti jadian. Orang lain pedekate-nya pake bunga dan cokelat, eh kamu pake APHT[1] dan SHM[2]!”
Rendra terbahak. Suaranya melengking hingga memancing April untuk berdeham sebagai kode agar dia berhenti tertawa. Hal itu berhasil. Setelah menyurutkan tawanya, Rendra menyenggol lengan Sofyan yang masih sibuk bekerja.
“Heh! Ke atas sana! Temuin calon pacarmu!” bisiknya sembari menyeringai.
Sofyan kembali melirik, “Sorry, Bro. Pacaran nggak ada dalam Islam.”
Dan Rendra pun terhenyak, sekejap kehilangan kata-kata.
***
Di lantai dua, Syahdan yang sudah selesai mengkopi berkas berjalan melewati Zumi dan disapa gadis itu.
“Syah, nanti gue titip beliin makan siang, dong! Lagi nggak puasa, nih!”
Syahdan mengernyit, “Kenapa nggak bawa makan dari rumah, sih, Zum? Aku kan puasa! Masak disuruh beli makanan?”
“Yaelah, nggak sempat, Syah! Tolongin dong!”
“Pesan pake ojek online aja! Udah, aku mau ke bawah dulu!”
Agus yang baru tiba dari taksasi mendadak muncul dari arah tangga.
“Eh, Syah! Apa kabar, Syah?”