Tidak salah untuk mengenal atau mencintai laki-laki, tapi lebih baik tidak membiarkan ikatan sebuah kasih yang belum tentu Allah meridai.
***
Sebagai seorang gadis berpikiran modern, Syahla tentu tidak mau masa depannya diatur dalam perjodohan. Apalagi saat ini ia sudah memiliki tambatan hatinya sendiri, imam pilihan yang berharap akan membawanya sampai ke Janah. Untuk itu saat Umi Halimah menyatakan maksudnya, mendadak Syahla jadi emosional.
“Apa?!” Wajah terkejutnya jelas menyiratkan rasa tidak suka. Sebelumnya tidak pernah ada pembahasan yang menyerempet ke arah perjodohan, lebih lagi ia masih harus menyelesaikan pendidikan. Semuanya aman-aman saja, lalu kenapa begitu tiba-tiba? Syahla benar-benar tidak habis pikir.
Bertanya sesak dalam benak, apa mereka bermaksud mengulang masa lalu suram?
Refleks umi mengusap lembut pundak Syahla, lantas memberi penjelasan lain. “Umi paham, ini memang sangat mendadak. Tapi, lamaran ini datang bukan dari keluarga sembarangan, lebih lagi uminya adalah sahabat Umi juga.” Syahla berusaha meredam, meskipun hatinya sejak tadi ingin melawan. “Namanya, Bilal Arshaka Zulkan. Dia lulusan Al Azhar. Seorang Ustadz yang sekarang sedang membantu abahnya mengurus pesantren keluarga mereka. Mengetahui silsilah keluarga mereka, Umi jadi sangat yakin kalau Ustadz Bilal adalah jodoh yang tepat dan terbaik buat kamu.”
Kedua tangan Syahla mengepal di pangkuannya dan sontak berkata, “Nggak!”
Umi Halimah tentu saja terkejut dengan respons Syahla. Tidak biasanya gadis itu berkata dengan nada keras, apalagi kepadanya.
“Ada apa?” tanya umi bingung sendiri.
Tidak segera menjawab, Syahla terus mencoba mengatur emosinya; menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu mendadak jadi pengap.
“Karena Sasa nggak mau dijodohin, Mi. Nggak mau.” Gadis yang sering dipanggil Sasa itu memalingkan muka, memasang tampang frustasi.
“Iya, tapi kenapa?” Umi masih belum paham, sebab ia pikir Syahla adalah gadis penurut dan berbakti kepada orang tua, tidak mungkin dengan tegasnya menolak keinginan keluarga begitu saja tanpa direnungkan terlebih dahulu. “Umi pikir tidak ada laki-laki yang lebih pantas untuk kamu selain Ustadz Bilal. Abi dan Kak Baim juga sudah setuju.”
“Bukan Umi, Abi, atau Kak Baim yang bisa nentuin masa depan Sasa,” timpalnya terdengar sarkas.
Hati umi mencelus mendengar pernyataan Syahla. Sampai satu telapak tangannya bertumpu pada dada. “Astaghfirullah, Sa. Ngomong apa kamu itu?”