Bapak

eSHa
Chapter #1

Sebelum Menjadi Bapak

Pernah dengar kalau anak sulung laki-laki itu biasanya penyayang walaupun agak badung??. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir sejauh itu tentang kehadiranku di dunia ini sebagai anak sulung, secara naluri saja aku berkewajiban melindungi dan menyayangi adik-adikku. Adikku ada tiga, dia yang lahir setelah aku adalah lelaki, kemudian perempuan dan adik bungsuku laki-laki juga. Jarak usia kami cukup stabil, setiap kelahiran kami berjangka lima tahun. Aku tidak mengerti bagaimana seseorang bisa mencetuskan mitos bahwa di setiap keluarga pasti selalu ada satu anak yang badung, satu yang pendiam, satu yang rajin dan satu yang malas, dan lainnya dan lainnya.

Kadang kita tidak menyadari bahwa kesadaran kita tentang seperti apa diri ini memang kita temukan dari pendapat dan pembicaraan orang lain. Seperti aku yang menyadari bahwa diriku anak yang baik, dari mereka semua yang senang memujiku dengan apa-apa yang aku lakukan di usai mudaku. Sekali lagi aku tidak banyak tahu tentang ilmu kehidupan, ilmu kemanusiaan dan ilmu lainnya pada saat itu. Aku tidak pernah berpikir untuk menyetel diriku menjadi orang yang pendiam, bagiku terlalu sering berbicara dengan banyak orang hanya tindakan merepotkan, aku lebih senang berbicara dengan pikiranku, aku menciptakan duniaku sendiri dan menikmati semua yang bisa kulakukan disana, tanpa teriakan emak 'Rian mandi, Rian makan, Rian sekolah', dan lainnya dan lainnya.

Selain karena aku hampir tidak pernah membuat keributan di rumah, orang-orang juga menilaiku anak baik karena aku tidak pernah terlibat perkelahian apapun baik di sekolah maupun di lingkungan mainku sejak aku kecil. Aku tidak takut pada siapapun, pertama, aku hanya tidak suka meladeni orang-orang resek yang belagu itu, orang-orang yang sok tangguh, aku juga tidak suka membuang energi untuk sesuatu yang bisa aku relakan. Kedua, aku punya Nugrah, pelindungku, sepupuku yang lahir sehari lebih dulu dari aku, dia adalah anak dari kakak perempuan bapak.

Aku sadar aku memang tidak pernah rewel seperti teman-temanku atas keinginannya, aku hanya menerima apa-apa yang emak-bapak berikan dan sediakan. Jika aku menginginkan sesuatu, aku lebih suka menabung dan membelinya kemudian hari daripada membicarakannya pada emak dan bapak. Walau tidak kaya, aku bersyukur bahwa aku lahir dan tumbuh dari keluarga yang utuh, kami juga tidak miskin, biasa saja. Kadang berlebih, kadang kekurangan, dan sisanya kami menjalani hidup dengan banyak rasa cukup.

Sepanjang ingatanku, saat aku masih SD bapak adalah seorang buruh pabrik, entah pabrik apa, sementara emak adalah seorang ibu rumah tangga yang cukup tangguh. Emak memiliki kakak beradik yang lumayan banyak, ramai sekali, berbeda dengan bapak yang hanya memiliki satu kakak perempuan dan dua adik perempuan. Mungkin karena itulah bapak tidak senang berbicara banyak, dan sifat itu ia turunkan padaku.

Mari kita bicara tentang Rei, adik pertamaku yang orang-orang bilang sebagai perusuh, biang kerok, anak nakal dan lain-lain. Usiaku dan rei yang terpaut lima tahun ini membuat lingkungan bermain kami sama. Rei memang agak rusuh, dia tidak bisa jika sehari saja tidak membuat emak naik darah. Ada saja tingkahnya yang sering membuat emak mengucapkan kalimat 'Masuk lagi lu sini ke perut gue!'. Hal paling iconic dari rei kecil adalah saat minta uang untuk jajan, dia pasti teriak dengan jarak hampir sepuluh meter dari rumah, selalu saja begitu dan itu juga yang selalu membuat emak mengucapkan kalimat saktinya.

Rei bilang dia begitu karena takut kena marah atau kena pukul emak kalau meminta dalam jarak dekat. Rei memang tukang jajan, sepertinya jatah jajan harian dia lebih banyak daripada jatah yang kuhabiskan. Walaupun emak kadang mengultimatum kami dengan mengucapkan 'Udah yaa jangan jajan lagi' itu tidak membuat rei paham setelah mejawab'iya' akan peringatan emak.

Suatu hari rei pernah jatuh tertimpa lemari yang cukup besar namun sudah rapuh di rumah kami, karena memanjat mencari uang saat emak tidak di rumah. Untung saja lemari yang jatuh tertahan dinding sehingga tidak menimpa tubuh rei seluruhnya. Tapi aku sayang padanya, aku selalu ingin membagi apapun yang kupunya dengannya. Aku sering menganggumi rei sebagai adikku ketika melihat caranya bergaul, dia periang, menyenangkan dan disenangi banyak teman, walaupun orang-orang tua banyak berkomentar tentang kenakalannya. Tapi yaa begitulah, kenakalan rei terkadang membuat emak sters. Susah sekali ketika diajak mengaji, apalagi mengerjakan PR dari sekokah.

Orang-orang sering membandingan kami ketika melihat aku tampil pada acara maulid nabi di panggung majelis tempat aku mengaji. Biasanya yang kulakukan membaca surat pendek, menyampaikan ceramah atau pidato sederhana dan membawakan shalawat serta lagu-lagu religi bersama grup nasyid majelis kami.

Tanpa terasa tiba-tiba adikku menjadi tiga, sepertinya saat aku kelas tiga SMP emak melahirkan adik bungsuku si Reyhan. Dulu kalau emak ada pengajian atau acara apapun dengan warga sampai sore, aku yang mengajak adik-adikku mandi dan memberi mereka makan sore, bukan perintah, aku hanya merasa bertanggung jawab saja. Kalau melihat cucian bertumpuk, rumah berantakan, aku juga merasa tugasku sebagai anak sulung untuk merapikannya, pokoknya aku selalu ingin rumah rapi dan bersih, sebab itu orang-orang menilaiku sangat rajin dan melabeliku sebagai anak baik.

Kemudian aku tumbuh semakin dewasa, sejak SD aku selalu sekolah bersama dengan nugrah, sepupuku dari bapak yang pernah aku ceritakan. Jujur saja aku selalu merasa aman dengannya, aku merasa terlindungi olehnya. Kami bukan anak-anak yang pandai dalam urusan pelajaran di sekolah, biasa saja cenderung bodoh. Bagi kami yang penting setiap hari datang ke sekolah sudah cukup. Kupikir saat itu tujuan kami sekolah hanyalah untuk ijazah sebagai modal mencari pekerjaan kelak. Aku tidak begitu peduli dengan pelajaran yang harus aku terima saat itu, tapi tugas-tugas kerajinan tangan selalu aku kerjakan dengan baik. Banyak tugas kerajinan yang kadang aku melakukannya dobel karena aku tidak yakin nugrah akan mengerjakannya.

Hingga kami lulus dari sekolah menengah pertama ini, kami masih belum punya tujuan akan jadi apa kami, mau bagaimana kemudian. Sayangnya saat itu kelulusan nugrah bentrok dengan kelulusan adiknya yang harus melanjutkan sekolah ke SMP, keluarganya sedang cukup kesulitan secara ekonomi sehingga tidak ada pilihan, nugrah harus mengalah untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Ada perasaan sedih mendalam yang tidak bisa aku jelaskan, semacam pukulan yang menghancurkan tapi tidak nyata.

Aku benar-benar tidak punya cita-cita melanjutkan sekolah kemana untuk ingin menjadi apa di masa depan, akhirnya aku membiarkan emak mengatur semuanya tentang sekolahku. Emak menyekolahkan aku di salah satu SMA swasta yang biasa saja, alasannya karena sekolah itu murah. Disana ada sepupuku yang satu tahun lebih tua dariku, namanya Noa. Noa adalah anak dari kakak perempuan emak, emak pikir akan baik bagiku untuk melanjutkan sekolah disana karena bersama dengan noa. 

Aku sangat belajar dari perjalanan ini bahwa pendirian yang kuat benar-benar harus ditanamkan sejak dini. Ini adalah babak baru dalam hidup dimana aku mulai membangun sedikit demi sedikit kegelapan masa depan yang akhirnya kumiliki. Mengawali kenakalan dengan rokok, bolos sekolah, hingga mencoba minuman keras. Aku bergaul dengan dunia baru yang seperti itu, sudah lupa kapan terakhir kali qomat di masjid sebelum shalat berjama'ah, sudah lupa sampai mana hafalan juz a'ma yang aku perjuangkan sejak pertama belajar mengaji, juga sudah lupa kapan terkahir kali aku membantu emak dengan semua pekerjaan rumahnya. Aku menikmati hari-hari itu tanpa perasaan bersalah, meyakini bahwa ini adalah dunia baruku yang semua orang akan mengalaminya.

Aku punya seorang sepupu perempuan dari bapak yang jarak usianya tidak jauh denganku, dia lahir satu tahun sebelum rei. Aku menyayanginya seperti adikku sendiri karena kami tumbuh bersama dalam asuhan nenek. Dia anak tunggal, karena tumbuh bersama empat orang sepupu laki-laki diapun menjadi tomboy. Dia selalu ikut bermain dengan kami, main kelereng, layangan, sampai menjaring ikan-ikan kecil di sawah. Kami hanya tidak pernah mengajaknya ketika akan main bola atau ke rental PS.

Setelah sampai di fase ini aku menjadi sering menceramahinya tentang pergaulan. Saat dia baru masuk SMP aku terus mengingatkan dia untuk tidak pernah mencoba macam-macam. Aku selalu membuatnya mau untuk terbuka kepada kami sebagai kakaknya, selalu bilang apapun yang membuat dia penasaran dia bisa tanya padaku sebelum mencobanya sendiri. Karena dia anak yang pintar aku bersyukur dia mengerti ucapanku dan tidak pernah tampak menyimpang seperti teman-teman sebayanya di lingkungan kami.

Sebenarnya dia anak yang cengeng, makanya menjadi target empuk untuk kami usili dalam setiap kesempatan. Walaupun begitu, dia adalah kebanggaan dari keluarga bapak. Alasannya, dia cucu perempuan pertama, dia cerdas, dia juga berani. Tapi dia tidak pernah menang melawan kami kakak-kakak lelakinya.

***

Setelah satu tahun menjalani hari-hari sebagai pelajar SMA, hari ini pembagian raport kenaikan kelas untukku. Walaupun tidak berharap bayak karena tau kualitas diriku, aku tidak pernah berpikir bahwa ada kemungkinan untuk aku tidak naik kelas, tapi hal itu terjadi.

Emak menghadiri pembagian raport itu sendiri tanpa diriku. Aku memberikan sejuta alasan untuk tidak ikut walaupun harusnya tetap datang. Ketika emak kembali dari sekolah, aku sedang berkumpul dengan teman-temanku di lapangan dekat rumah. Emak kemudian mengajakku pulang dengan nada biacara yang sangat tinggi. Aku sudah menebak emak pasti akan tahu aku sering membolos, aku tidak sekolah dengan baik atau kenakalanku yang lain di sekolah. Karena itulah aku menolak untuk ikut hadir dalam pembagian raport itu ke sekolah. Saat tiba di rumah, emak melemparkan raport itu padaku yang sudah duduk bersila di lantai, emak melepas kerudungnya dan kemudian berurai air mata sambil bertanya,

"Kamu maunya apa?, udah gak mau sekolah?, mau nyiksa orang tua?, selama ini tiap hari pergi dari rumah gak pernah nyampe ke sekolah kamu kemana?."

Mendengar emak mengucapkan semua kalimat itu sambil terisak membuat aku ikut sesak, rasanya seperti sesuatu menghantam tepat di dadaku. Anehnya anak nakal yang tidak merasa bersalah ini tidak bisa berkata-kata di hadapan emak dengan segala kemarahannya. Rasanya aku ingin memeluk emak dan meminta maaf, tapi lidah ini sungguh kelu, bahkan tidak sepatah katapun bisa keluar dari mulutku untuk menjawab emak. Aku hanya diam dan tertunduk tanpa berani membuka raportku. Aku belum tahu apa yang terjadi, aku hanya berpikir tentang bolos saja yang membuat emak meledak-ledak seperti itu. Ketika emak masih berusaha mengajakku bicara, dari luar terdengar seseorang yang mengucapkan salam dan memanggil nama emak,

"Assalamualaikum, liiss."

Nama emak Lisna, tapi kebanyakan orang memanggilnya èlis termasuk nenek. Iya, yang mengucap salam dan memanggil namanya adalah nenek, mertua emak. Masih sambil terisak emak menjawab salam nenek dan membuka pintu, nenek tampak kaget melihat kondisi emak yang berantakan dengan tangis yang cukup kencang, dengan lembut nenek bertanya,

"Kenapa?."

"Ibuuu, saya harus gimana sama rian?, tolongin saya bu."

Begitu cara emak memanggil nenek. Aku yang sudah menaikan pandangannku sejak nenek masuk, melihat nenek melirik ke arahku seakan ingin bertanya ada apa, tapi nenek menahan pertanyaannya, dia memegangi tubuh emak dan mengajakknya duduk seraya menenangkan. Tanpa bertanya, nenek kemudian berucap seolah tahu apa yang sedang terjadi,

"Namanya juga anak laki, udah bujang, nakal mah pasti ada, yang penting kita jangan bosen nasehatinnya."

"Ibuuu, si rian gak naik kelas, bolos tiga bulan, padahal tiap hari berangkat dari rumah, di sekolah sering banget ketahuan ngeroko, malu banget saya bu sama guru. salah apa saya ngedidik anak bu, salah apa saya sampe dibohongin gini sama anak."

Lihat selengkapnya