Bapak

eSHa
Chapter #2

Semakin Jauh, Semakin Gelap

Walaupun ada perasaan tidak nyaman di hati yang melekat dalam hidupku setelah duniaku berubah, tapi hal itu tidak pernah membuat aku mencoba berbalik arah, memperbaiki ataupun menata ulang hidup yang mereka bilang sudah rusak. Aku tetap menjalaninya seolah semua itu adalah hal yang biasa. Banyak sekali orang yang menyayangkan perubahan hidup yang aku jalani, mereka yang dulu memuja dan memuji rian kecil sekarang sibuk mengorek keburukan dan menyebar aib yang sengaja aku perlihatkan. Perbandingan terbalik yang terjadi antara aku dan rei menjadi hal paling banyak dibicarakan orang-orang sekampung. Aku tidak pernah marah dengan itu, semua yang mereka katakan benar, hanya yang tidak mereka tahu bagaimana sulitnya aku bertahan dengan semua perubahan ini. Mereka tidak pernah mengerti kesibukanku yang terus bertarung dalam batin. Bukan karena aku tidak mau menjalani kehidupan yang lebih baik, tapi aku tidak tahu di titik mana aku bisa kembali, aku tidak tau bagaimana untuk mulai kembali menyusunnya, aku sudah terlalu jauh.

Aku juga tidak pernah iri dengan semua pujian yang tertuju pada rei, aku bersyukur dengan itu, setidaknya emak dan bapak masih memiliki masa depan yang bisa menjadi kebanggaan, karena itulah aku bersungguh-sungguh mendukung rei untuk sekolahnya.

***

Lingkungan tempat aku tinggal adalah pemukiman kampung yang penduduknya beragam. Pedagang, buruh, mandor, hingga PNS pun ada di kampung ini. Biasanya orang yang disebut kaya di kampung ini adalah mereka yang memiliki banyak rumah kontrakan, sebagian besar penyewanya adalah para pendatang yang kebetulan berdagang. Biasanya mereka ada di satu komplek rumah kontrakan.

Ada salah satu komplek kontrakan yang terkenal murah milik haji komar, walaupun tempatnya agak kumuh tapi area kontrakan haji komar ini selalu penuh, sekitar delapan kamar kontrakan ada di sana. Tempat ini memang cukup terkenal, bila ada orang asing bertanya dimana letak kontrakan haji komar, warga lokal kebon asem pasti langsung menunjukan komplek ini.

Aku tidak tahu bagaimana mulanya, tiba-tiba kontrakan ini dipenuhi oleh orang-orang luar yang pekerjaannya di dunia malam. Lagi-lagi aku tergoda ajakan noa untuk berbaur dengan mereka. Seperti aku yang memilih menjadi kuli bangunan daripada melanjutkan pendidikan, mereka yang memilih jalan hidup dalam pekerjaan malam juga kuyakini punya alasan.

Tidak bergaul sejak awal, aku menjadi warga asli yang berada di lingkungan mereka belakangan. Setelah berita tentang mereka tersebar sampai ke kampung sebelah, setelah dengan cepat mereka menjadi terkenal di kampung kami, kemudian setelah isu nya mereda dan mereka nampak jadi warga biasa, barulah aku ikut bergaul dengan mereka.

Bukan karena sejak awal aku merasa lebih baik, tapi aku tidak punya banyak waktu untuk sengaja nongkrong dan bergaul seperti itu. Saat pulang kerja rasanya tubuhku sudah letih dan hanya mendambakan tempat tidur untuk melepaskan segala penat dan mengumpulkan kembali energi untuk esok hari.

Awalnya hanya sesekali aku ikut berkumpul dengan mereka dan teman-teman kecilku. Makin lama aku makin sering datang ke tempat ini hanya untuk haha hihi bersama mereka, sampai kemudain beralih tingkat menjadi mabuk bersama dengan mereka. Ada beberapa orang yang kemudian menjadi pasangan kekasih setelahnya. Aku tidak terlalu tertarik dengan hubungan semacam ini pada awalnya, tapi aku juga tidak pernah dengan sengaja bermaksud dingin pada perempuan, aku hanya sungguh-sungguh ingin fokus terhadap tanggung jawabku sebagai kakak dan anak sulung yang gagal.

Aku perlahan mengerti tentang teori hidup yang berposes. Pada saat itu aku tidak berpikir bahwa apa-apa yang aku lakukan memiliki resiko kerusakan yang tinggi, kekacauan yang sangat potensial. Setelahnya aku baru paham bahwa memang segala hal yang tergerak oleh nafsu selalu berujung buntu. Pengertian itu terkadang membawa aku pada satu bentuk penyesalan yang sulit untuk aku maafkan.

Setelah berbulan-bulan bergaul dengan teman-teman pekerja malam itu akhirnya aku terjebak dalam satu hubunga romantis yang disebut pacaran. Hal yang beberapa bulan sebelumnya sangat tabu bagiku, hal yang tadinya tidak habis aku pikir kenapa teman-temanku bisa menjalaninya. Pada akhirnya aku juga mendapat bagian itu.

Ada seorang perempuan bernama arin yang cukup terkenal diantara mereka, katanya dia menarik perhatian banyak pria, tapi hal itu tidak berlaku padaku, aku melihatnya biasa saja. Dia pernah memacari dua orang temanku sebelum kemudian aku memutuskan untuk jadi pria ketiga yang ia pacari di lingkungan kami. Sebagai seorang pria, aku tidak punya kuasa untuk bicara tentang perempuan baik-baik dan perempuan tidak baik, apalagi keadaan diriku yang seperti ini. Aku amat sadar diri, kelayakkan diriku memberi penilaian pada orang lain adalah nol. Penting untuk tahu bahwa sebenarnya laki-laki juga suka bergosip, namun kami tidak menunjukan kehebohan seperi yang dilakukan kebanyakan perempuan. Kami membagi berita diam-diam, dengan tenang namun tetap menyeluruh. Tapi dengarlah, bukan hanya satu atau dua kali aku mendengar tentang bagaimana arin memperlakukan dirinya dihadapan pria, apa lagi pria yang dipanggilnya pacar. Bukan hanya sekedar pacaran anak remaja, tapi arin merelakan seluruh tubuhnya untuk dijamah sang pacar.

Aku masuk dalam fase kehancuran hidup selanjutnya, aku terjebak dalam kenikmatan sesaat yang sesalnya tidak bisa ditebus. Aku mau, bodohnya aku mau memacari wanita yang tidak sanggup menghargai dirinya sendiri ini, aku mau tidur dengan wanita yang pernah ditiduri beberapa temanku ini, dan aku mau mebodohi diriku dengan pilihan seperti ini. Jangan coba menebak aku berniat menjadi pahlawan yang menyelamatkan arin, mengubah hidup arin atau berniat tulus pada arin. Tidak sama sekali, aku menjalani hubungan ini karena hasutan dari teman-temanku dan rasa penasaranku terhadap apa yang mereka katakan tentang arin. Keingintahuan tentang hubungan intim orang dewasa menjadi salah satu alasan terbesar yang mendorong aku untuk membuat catatan hidup bersama arin.

Aku mengakui bahwa sejak bergaul dengan mereka aku mulai kehilangan fokus pada rei, beberapa bulan uang sekolahnya mulai macet, jatah mingguannya menurun dan aku juga sudah jarang memberi emak bagian dari gaji yang selama ini aku terima. Emak tidak pernah menutut, berapapun yang aku berikan emak selalu menerimanya dengan syukur dan ucapan terima kasih, dan emak tidak pernah memaksa aku untuk memberi. Aku terlena dengan pujian dan pujaan teman-temanku ketika kami menghabiskan malam bersama dalam pengaruh alkohol. Karena pekerjaanku yang terhitung paling stabil saat itu, mereka mengandalkan aku untuk menyumbang paling banyak dalam supply minuman keras. Itulah sebabnya aku mulai abai pada rei. Selain itu hidup sebagai seorang pacar juga ternyata tidak cukup menyenangkan, entah bagaimana rasanya aku harus membeli kesenangan arin sebagai pacarku dengan penghasilanku yang selama ini aku utamakan untuk rei.

Suatu hari aku pernah menolak memberikan sumbangan untuk party dan memilih tidak datang, aku bilang ini jadwal membayar sekolaha rei, tapi seorang teman bilang padaku agar tidak terlalu mengutamakan rei, dia bilang aku lebih berhak atas uang yang aku hasilkan untuk kesenanganku sendiri. Kalimat itu cukup menjadi pemicu untuk kemudian aku mulai perhitungan dengan angka rupiah yang aku berikan pada rei, aku mulai terhasut nasihat-nasihat temanku untuk memberi bantuan pada biaya sekolah rei sekedarnya saja. Aku perlahan mulai lupa bahwa aku yang berjanji untuk menyekolahkan rei dengan tuntas sesuai minat yang dia pilih. Aku lupa bahwa aku yang berjanji pada diriku untuk membantu emak dan bapak dalam membiayai sekolah adik-adikku. Mereka sama sekali tidak pernah menuntut aku sedikitpun untuk itu, semua itu adalah janjiku terhadap diriku sendiri, namun aku perlahan mulai menjadikannya serangan balik yang mengatasnamakan self reward.

Berita tentang aku memacari arin sudah mulai terdengar kepada keluargaku, dari sikapnya aku tahu betapa bencinya emak padaku disaat itu. Emak tidak pernah menyerangku dengan terang-terangan untuk tidak bergaul dengan lingkunganku saat itu, tapi nasehat emak selalu saja tentang mencari teman yang bisa mengajak pada kebaikan. Belum ada yang berani bicara padaku secara langsung atas kabar yang beredar tentang hubunganku dengan arin, walaupun aku yakin mereka semua sudah tahu, sampai suatu hari aku bertengkar dengan rei karena uang sekolah. Tidak terasa aku sudah menunggak uang sekolahnya berbulan-bulan, dan ketika rei menyampaikan keluhannya aku terlihat mulai cuek dan tidak peduli, padahal aku hanya kaget menyadari begitu abainya aku beberapa waktu belakangan ini. Rei kemudian meluapkan kekesalannya atas pergaulan baruku. Dia mengatakan padaku bahwa aku adalah laki-laki tanpa harga diri yang mau memacari perempuan seperti arin yang sudah jelas-jelas pernah tidur dengan temanku. Aku tidak terima dikatai begitu, kami mulai beradu mulut sampai ke hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan masalah sebenarnya yang kami ributkan. Ucapan rei yang paling menyakitkan adalah ketika dia bilang dia tidak akan lagi menerima bantuan apapun dariku.

"Aku berterima kasih atas semua yang kamu usahakan buatku selama ini. tapi cukup, sampai sini aja. mulai sekarang gak perlu lagi ngurus aku sama sekolahku. gak perlu lagi bertanggung jawab sama aku, kalo emak dan bapak udah gak mampu biayaiin sekolah aku, aku bakal berhenti. dan itu bukan salah kamu, bukan tanggung jawab kamu."

Aku benar-benar merasa terpukul mendengarnya, tapi aku tidak bisa membela diri dengan alasan apapun. Aku juga tidak bisa egois dengan tetap melanjutkan bantuan biaya untuk rei. Terlebih ada perasaan sombong yang meningkat ketika itu setelah mendengar kata-kata rei. Aku ingin membuktikan bahwa rei membutuhkan aku, aku ingin rei mengerti bahwa ia tidak bisa tanpa aku. Aku setuju untuk berhenti membiayai rei, hubungan kami mulai merenggang setelah itu. Aku tahu aku telah melukai orang tuaku bukan hanya karena bertengkar dengan rei, atau mengingkari jajiku, aku tahu aku melukai perasaan mereka dengan perilaku yang semakin hari semakin buruk.

***

Aku belum lama menjalin hubungan sebagai pacar dengan arin, aku mengakui semua perilaku menjijikan yang kami lakukan bersama, aku mencoba semuanya berawal dari hanya menyentuhnya, hingga melakukan hubungan suami istri dengannya berulang-ulang. Kurang lebih selama dua bulan aku memacari arin, dunia gila yang baru aku temukan ini kemudian merampas seluruh duniaku, bukan hanya sekedar hancur, tapi benar-benar membuat kehidupanku mati. Aku tidak tahu berapa angka dadu yang aku dapatkan dari lemparan terakhirku hingga membuat aku menjalani langkah seperti ini. Tidak sepenuhnya aku menyalahkan arin, aku hanya merasa tidak adil, aku benar-benar terkejut dengan kenyataan hidup yang harus aku hadapi, 'kalah telak?.'

Lihat selengkapnya