Ternyata pernikahan ini tidak seburuk yang aku bayangkan. Kami melangsungkan akad nikah tanpa pesta. Malam itu, aku bersama emak, bapak dan beberapa keluarga mendatangi rumah arin untuk mengucap akad di sana. Tidak banyak orang yang pergi bersama kami, juga tidak banyak orang di rumah arin yang menyambut kedatangan kami. Pernikahan ini bahkan tidak sampai pada kata sederhana, kami hanya mengucap akad di hadapan penghulu dan keluarga, dengan mas kawin seadanya juga pakaian terbaik yang kami punya. Tidak ada kebaya ataupun gaun pernikahan.
Setelah menjadi suami istri baru, emak menyewakan kami rumah di kontrakan haji komar. Bukan rumah sungguhan, hanya kamar satu petak. Kebencianku terhadap arin berangsur-angsur pudar, meski aku masih belum memperlakukannya dengan baik sebagai istri. Tentu saja aku masih jadi topik paling panas yang dibahas orang sekampung tentang ini. Aku sudah tidak peduli dengan itu.
Aku sudah menunaikan keinginan emak, ini semua adalah keputusan yang emak buat, aku hanya memilih manut pada pilihan emak. Berbulan-bulan hidup dengan arin dalam kamar petak yang menyesakkan itu akhirnya membuat aku mengakui keberadaan arin bersamaku, aku mulai mau bicara dengannya tentang anak yang dia kandung. Aku mulai banyak bertanya tentang keadaannya. Melihat perutnya yang semakin besar membuat perasaan rela semakin berkembang dalam nuraniku. Perlahan aku menerima bahwa ini mungkin takdir yang harus aku terima, seperti kata emak. Semakin hari semakin bertambah rasa penerimaanku atas keadaan ini sampai semuanya terasa lebih baik.
Kami mulai tampak seperti keluarga sungguhan, mulai menunjukan keharmonisan sebagai pasangan dan juga memulai kembali hubungan yang seharusanya dulu tidak kami lakukan.
Waktu yang berjalan menjadi terasa sangat cepat hingga arin melahirkan putri cantik kami. Kehadirannya di dunia ini membawa warna baru dalam hidupku. Tidak tahu berapa angka yang aku dapat dari lemparan daduku kali terakhir hingga di usia dua puluh dua tahun aku menjadi seorang bapak. Kami memberi nama bayi cantik itu Arina.
Aku sangat berterima kasih pada Allah karena meberikan hati yang baik pada keluargaku untuk menerima kehadiran arina, semua orang di keluarga kami menyambut hangat kehadiran arina. Walaupun hubunganku dengan rei masih canggung tapi rei juga tampak menerima arina.
Sejak kelahiran arina, aku melihat banyak perubahan yang semakin baik dari diri arin. Sebagai seorang ibu yang baru, arin cukup bekerja keras dalam merawat arina. Aku sering kali tersentuh ketika mendengar arin membisikan ayat-ayat suci pada arina menjelang arina tidur, atau ketika arina menangis berlebihan. Aku sampai pada momen dimana aku memohon pengampunan yang sangat dalam pada Allah sebab semua prasangka buruk yang aku tujukan pada arin, juga atas semua hinaan yang terlanjur aku lontarkan pada arin. Tanpa sadar aku juga mulai memperbaiki berbagai hal dalam diriku.
***
Mungkin karena kami menjalani pernikahan ini dengan pikiran yang bebas, lagi-lagi pergerakan waktu terasa terlalu cepat. Arina yang sempat kutolak kehadirannya sekarang sudah berusia dua tahun, sudah mulai berjalan kesana kemari dan belajar bicara kata-kata yang kadang tidak kami pahami. Selain itu, kabar gembira lainnya kami sedang menunggu kelahiran anak kedua kami yang tinggal menghitung hari. Tanpa perdebatan dan penolakan seperti yang dialami arina, kehamilan arin saat ini mendapat banyak dukungan dariku dan dari keluarga kami.
Arin melahirkan seorang putra dari kehamilan keduanya yang kami beri nama Arian. Semuanya nampak baik-baik saja sejak arian lahir hingga beberapa bulan usianya. Aku tidak tahu apa yang dialami arin secara emosional sebagai seorang ibu, dia tidak pernah bicara apapun terkait itu padaku. Pertanyaanku tentang keadaannya selalu dia jawab dengan kalimat 'Semuanya baik-baik aja'.
Berlalunya waktu membantu aku merasakan perbedaan yang cukup besar dari arin, seakan ia kembali pada arin yang semula kukenal. Diawali dengan arin yang tiba-tiba ingin berhenti menyusui arian saat usianya baru tiga bulan, dia meminta aku membelikan stok susu formula untuk arian. Ini sangat tiba-tiba, tidak ada dasar yang masuk akal atas keinginannya. Aku bertanya tentang alasannya, dia hanya bilang sudah lelah, dia sudah tidak mau saja menyusui arian. Aku mengikuti maunya, kami mulai menyediakan susu formula, dan seolah paham keinginan ibunya, arian menerima keadaan ini dengan baik.
Bulan selanjutnya arian dilarikan ke rumah sakit karena mengalami diare hebat. Setelah melakukan pemeriksaan ternyata arin memberi arian makanan bayi instan diumurnya yang baru empat bulan. Hal ini sangat menyulut emosiku. Saat tiba di rumah, aku membentak arin dan meluapkan amarahku. Dan alasan bodohnya adalah dia kebingungan kerena tangisan arian sepanjang hari, kemudian seorang tetangga menyarankan agar arin memberi bubur bayi pada arian dengan kemungkinan arian lapar. Tanpa bertanya lebih dulu pada orang tua kami, arin dengan polos dan ceroboh mengikuti saran tetangga tersebut. Untungnya arian bisa tertolong dengan cepat.
Sejak saat itu hubungan kami kembali merenggang, banyak sebab dibaliknya. Salah satunya saat di rumah aku menemukan empat batang rokok dalam bungkus yang aku kenal rokoknya, arin tidak menyangkal bahwa ia kembali merokok ketika aku bertanya, sudah hampir satu bulan terakhir katanya. Aku mengerti akhirnya kenapa ia meminta aku menyuplai susu formula untuk arian dan alasan ia ingin berhenti menyusui arian. Ada perasaan kecewa yang hadir dan kemarahan yang sudah familiar, tapi tidak ada energi tersisa yang kumiliki hanya untuk marah-marah pada arin, memaki atau membentaknya lagi. Arian sudah terbiasa dengan susu formula, dan bagiku itu cukup, jadi aku membiarkannya begitu saja. Aku hanya berpikir untuk bekerja lebih keras agar kebutuhan susu arian tetap terpenuhi.
Ternyata ini menjadi akar kesalahan terbesar yang tidak aku perhitungkan sejak awal, akar dari segala kekalahan yang baru. Aku pikir ini hanya perasaan sesaat arin yang cukup lelah menjalani hari sebagai istri dan ibu dari dua anak, selain itu mungkin arin juga bosan hidup miskin bersamaku. Sayangnya kebiasaan buruk arin kembali melebar, selain merokok, persahabatan arin dengan minuman keras kembali terjalin.
Hari itu ada pemandangan lain yang kulihat sepulang kerja dalam perjalanan menuju rumah. Sebelum memasuki gerbang kontrakan haji komar yang kini menjadi tempat tinggal kami, ada gazebo yang sejak lama digunakan warga untuk nongkrong. Sore itu beberapa temanku duduk disana, termasuk noa dan arin. Dengan sangat jelas aku melihat arin sedang meneguk minuman yang tidak biasa. Aku menariknya dari kumpulan orang-orang itu tanpa kata-kata, membawanya sampai ke dalam rumah dan sedikit mendorongnya ke lantai saat tiba di rumah. Aku sangat marah, melihatnya tertawa begitu lebar dengan gelas berisi minuman di tangannya membuat amarahku terus terdorong. Kemarahanku yang sudah tertumpuk akhirnya pecah hari itu.
Tidak adanya kedua anak kami di dalam rumah, membuat aku semakin membabi buta meluapkan amarahku terhadap arin. Aku mencengkram wajahnya dengan kuat bersama beberapa makian yang sangat kasar. Ketika arin memberontak dan balas membentakku, aku menjambak rambut panjangnya dengan sangat keras, aku benci ketika melihat wajahnya yang tersenyum seakan menghina diriku dan hidup yang sudah aku curhakan untuk bersamanya. Aku sampai tidak sempat bertanya dimana keberadaan arina dan arian, aku benar-benar lepas kendali karena itu. Aku tahu saat itu aku merasakan kegagalan hidup yang kedua sebagai seorang suami, setelah sebelumnya gagal menjadi seorang anak. Aku hanya tidak tau bagaimana cara meluapkannya, sehingga aku melampiaskan sepenuhnya pada arin. Peperangan itu tidak berlangsung lama, aku berhenti setelah melihat arin batuk kesakitan. Tapi aku tidak lantas membantunya, aku meninggalkan dia dalam keadaan seperti itu, kemudian pergi ke rumah emak tanpa bermaksud mencari anak-anakku, tapi kudapati mereka disana. Mereka terlihat sangat riang bermain dan tertawa bersama vita, sebagian amarahku memudar karenanya. Aku mencoba menenangkan diri beberapa saat disana, berusaha tidak terlihat kacau untuk tidak memberi tahu mereka semua tentang apa yang baru saja terjadi antara aku dengan arin. Setelah amarahku semakin surut aku membawa kedua anakku pulang. Arian yang sudah terlelap kubawa dalam pangkuanku, sementara arina aku genggam dan menuntunnya dengan tangan kananku. Walaupun sudah gelap arina berhasil berjalan dengan baik meski usianya baru dua tahun saat itu. Sampai di rumah, aku melihat keadaan rumah sudah rapi dan arin sudah terlelap dibalik selimutnya, suara arina membuat matanya terbuka dan dengan senyum arin menyambut kedatangan arina yang memanggilnya dengan lembut. Aku membaringkan arian di sisi kiri arin sementara arin kemudian mendekap arina yang berbaring di sisi kanannya. Kami tidak bicara apapun malam itu, tidak membahas apa yang sudah terjadi juga tidak membicarakan apa yang akan dilakukan. Kami bersikap seolah semua biasa saja.
***
Sejak hari itu aku sudah kehilangan makna keluarga yang susah payah kubangun dengan arin. Arin yang makin hari makin jadi, membuat aku sama sekali tidak lagi peduli dengan apapun yang dia lakukan, aku hanya ingin fokus terhadap anak-anakku. Tapi tidak bisa, karena arin masih istriku aku tetap kena getah dari setiap tingkahnya. Aku pernah datang menemui orang tuanya, dan mengatakan tentang yang terjadi pada kami, aku bilang sepertinya aku sudah tidak mampu hidup bersama dengan arin dalam keadaan seperti ini, aku tidak mampu menjaga arin ataupun membuatnya tetap berada dalam jalur. Ibunya memohon padaku untuk memberi arin kesempatan sekali lagi, dia bilang dia akan bicara pada arin dan menasihatinya agar mau memperbaiki semua kesalahannya. Hal itu juga tidak berpengaruh pada arin yang sudah menjadi sekeras batu. Bicara padanya dengan baik juga tidak menjadi solusi, aku berhenti mendebatkan semua itu setelah dia bilang, "kamu gak perlu ikut campur sama apapun yang aku lakuin. aku bisa cari duit sendiri buat kesenangan aku."
Memang benar, aku sudah tidak lagi memberinya rupiah dalam mengurus rumah, aku yang membelanjakan semua keperluan rumah dan menyimpan uang. Bukan aku tidak memberinya makan, aku tetap memenuhi kebutuhan rumah, hanya saja tidak lagi dalam bentuk rupiah yang aku serahkan pada arin.
Entah bagaimana dan berapa lama setelah semua ini aku lakukan, hidup kami semakin mengalami kekacauan. Ini adalah tahap selanjutnya dari kesalahan pertama yang aku biarkan. Beberapa kabar tidak menyenangkan tentang arin kembali muncul ke permukaan, tentang dia yang sering kali ditemukan bersama laki-laki lain. Aku mendiamkan semua berita itu karena buatku itu tidak penting lagi, perasaanku terhadap arin sudah mati. Bukankah sejak awal aku memang tidak pernah berniat sama sekali untuk menjadikannya seorang istri, jadi aku tidak merasa kehilangan apapun dengan dia yang sekarang. Aku hanya sedang menunggu waktu untuk melepaskan dia sebagai istriku.
Setelah lama tidak bicara denganku, satu hari rei tiba-tiba menyapaku di rumah emak, meski heran aku tetap menjawabnya dengan canggung. Awalnya dia bertanya apakah aku sudah makan, lalu menanyakan keberadaan anak-anak yang sudah pasti ada di rumah. Selanjutnya dia bicara tentang perilaku gila arin di media sosial facebook. Rei mengetahui itu dari yandi, salah satu temannya yang adalah tetangga dan saudara jauh kami. Ia menunjukan foto yang diunggah arin sedang berciuman dengan laki-laki lain, sedang saling memeluk, dan beberapa foto yang tidak harus dia pamerkan secara publik. Sekalipun dia selingkuh, aku sudah benar-benar tidak peduli. Aku tidak merasa terkhianati karna memang perasaan kami sudah mati. Aku tidak merespon banyak terhadap rei, setelah melihat foto-foto itu aku kembalikan ponselnya dan berlalu begitu saja, tanpa memberikan pernyataan apapun. Aku sudah berpikir ini waktu yang tepat untuk aku akhirnya melepasakan dia sebagai istri.
Aku rasa Tuhan tidak sabar memintaku untuk menebus semua kesalahanku di dunia ini. Aku belum selesai melepaskan diri dari kekacauan yang kubangun bersama arin, tapi kekacauan yang lebih besar sudah di depan mata. Aku yang berniat bicara dengan baik pada arin untuk mengakhiri pernikahan kami, mendapatkan kejutan lain yang tidak masuk dalam akal sehatku. Ini tahap kehancuran selanjutnya dari kesalahan kecil yang kubuat dalam mengabaikan arin.
Hari lain sepulang kerja, aku dikejutkan dengan adanya beberapa orang asing saat tiba di rumah. Ada satu orang perempuan yang mungkin seusia dengan emak, dan dua orang laki-laki yang tampak tidak terlalu muda namun juga tidak terlalu tua. Aku melihat wajah mereka yang berapi-api sementara arin nampak terpojok. Setelah duduk dan bicara, aku tidak tau lagi harus bagaimana dengan hidupku, ketiganya adalah penagih hutang. Arin memiliki hutang pada rentenir-rentenir itu yang jumlahnya cukup menyusahkanku, jumlahnya diluar kemampuan gajiku. Ternyata masih ada sedikit rasa iba yang hidup dalam nuraniku kepada wanita yang menjadi ibu dari kedua anakku.
Setelah diskusi dan penjelasan yang cukup panjang, aku berjanji pada mereka akan menyelesaikan hutang arin dalam batas waktu tertentu. Mereka setuju walaupun meminta secepat mungkin. Aku mengiyakan permintaan mereka bukan karena aku memiliki cukup uang untuk itu, aku hanya ingin mereka segera pergi dari pandanganku. Aku juga berpikir cukup keras setelahnya, dari mana bisa aku dapatkan uang sejumlah itu untuk melepaskan arin dari para rentenir itu. Mereka hanya memeberi aku waktu dua minggu untuk menyelesaikan ini.
Aku memilih tidak berdiskusi dengan arin untuk penyelesaianya, aku menyiksa diriku sendiri dengan mengambil alih tanggung jawab. Karena aku tau arin tidak punya sumber penghasilan, itulah kenapa aku mengambil keputusan untuk menyelesaikannya sendiri. Ternyata aku tidak mampu, setelah beberapa hari aku kemudian bicara pada orang tua arin tentang hal ini, karena ini murni kesalahan arin, orang tuanya mau membantu menyelesaikan hutang arin. Mereka memberi sekitar dua puluh persen dari total hutang arin yang harus kutanggung, jujur saja masih sangat jauh dari jumlah yang harus aku penuhi.
Seminggu berlalu masih belum ada solusi, tanpa sengaja aku bercerita tentang hal ini pada salah satu temanku di toko. Jawabannya asal, namun ternyata mampu menjadi solusi untuk jalan buntu yang sedang aku hadapi. Dia menyarankan aku untuk mengajukan pengunduran diri dari toko, dia bilang biasanya bos kami akan membekali kami dengan sejumlah uang sebagai pesangon. Jumlahnya tidak cukup banyak, bukan seperti uang pesangon di perusahaan-perusahaan besar, ini hanya seperti rasa terima kasih bos kepada kami yang sudah bekerja kepadanya bertahun-tahun.
Aku langsung mencoba saran jajang, temanku itu. Tanpa berpikir panjang, tanpa berdiskusi dengan siapapun, aku langsung bicara pada bos hari itu juga menyatakan bahwa aku akan berhenti dari pekerjaanku. Bos kami sepasaang orang chinese-sunda paruh baya, ci melda dan koh sek hong yang akrab di sapa koh esek. Ci melda yang berperan lebih aktif untuk urusan toko, menjadikan kami lebih dekat dengan dia untuk segala hal daripada suaminya. Pembahasan pertama itu langsung ditolak mentah-mentah oleh ci melda yang sudah lebih dari tiga tahun menjadi bosku.
"Rek kamana rian, babalaguan kaluar gawe sagala. henteu ah, moal."
katanya saat menolak pengajuan pertamaku. Meski mereka chinese, bahasa sunda mereka tidak kalah fasih dari para pribumi. Aku tidak bisa menjelaskan alasanku ingin berhenti bekerja kepada ci melda, aku hanya bilang ingin berhenti saja. Dia kemudian berekspresi kesal apalagi keputusanku tidak beralasan begitu. Dia malah curiga aku mendapatkan pekerjaan lain dari orang atau pemilik toko yang juga dia kenal. Hari pertama itu aku hanya bicara sia-sia dengan ci melda, namun aku tidak berhenti mencoba dan berharap sungguh ci melda akan memberiku uang pesangon seperti kata jajang yang akan sangat membantuku karena waktu kami sudah hampir habis. Di hari keempat setelah pengajuan pengunduran diriku yang pertama barulah aku bicara yang sejujurnya tentang alasanku ingin berhenti bekerja. Awalnya ci melda nampak terkejut dan marah, namun kemudian ia bertanya berapa jumlah uang yang aku butuhkan dan ia akan meminjami aku yang pembayarannya bisa aku cicil setiap kali aku gajian. Bagi kami uang lima juta di masa itu bukanlah angka yang masuk akal sebagai hutang. Gaji mingguanku bahkan tidak sampai sepuluh persen dari jumlah itu, dan potongan yang aku keluarkan untuk mencicil pada ci melda sebanyak lima puluh persen dari gajiku, alasannya agar bisa segera beres.
Aku pikir ini adalah solusi terbaik yang bisa aku lakukan sebagai kepala rumah tangga, namun bukan tanpa celah, hal itu justru menimbulkan masalah baru yang tidak bisa aku tangani sendiri. Walaupun niatku untuk menceraikan arin tidak pernah runtuh, namun aku menahan diri untuk tidak melakukannya saat ini. Aku merasa memiliki andil atas keterpurukannya saat ini, sebab itu aku mengulur waktu untuk berpisah.
Penghasilanku yang semakin berkurang membuat kebutuhan rumah tangga kami ikut terjepit, mulai dari persediaan makanan, susu arian hingga menunggak rumah kontrakan. Aku tidak pernah mendebatkan hal ini dengan arin, aku juga tidak pernah diskusi dengan arin untuk mencari jalan keluar bersama. Bagiku satu-satunya jalan keluar yang aku miliki untuk memperbaiki hidup hanyalah berpisah dari arin. Sekeras apapun aku berusaha menambah penghasilan untuk menghidupi arin dan kedua anakku dengan jauh lebih layak, aku rasa aku tidak mampu lebih baik dari saat itu. Sepanjang hari waktuku sudah habis dengan pekerjaanku di toko, tidak banyak juga yang bisa aku lakukan di malam hari untuk menambah penghasilan.
Setelah berbulan-bulan, gaji mingguanku yang dipotong ci melda atas hutang sudah hampir selesai. Aku pikir ini waktunya aku mencari penghasilan yang lebih dari toko, keterikatan aku dengan ci melda karena hutang kurasa sudah bisa aku tinggalkan. Aku ditawari kembali bekerja sebagai kuli bangunan yang gajinya sedikit lebih tinggi daripada yang aku dapatkan di toko. Aku kemudian bicara pada ci melda tentang pemikiranku ini.
"Kenapa siih rian, pengen pisan kamu berhenti kerja sama saya?. gak betah kamu disini?."
"Kalau gak betah mah moal opat taun atuh ci saya kerja sama enci."
"Naha atuh terus aja minta berhenti?."