Rasa cinta terbentuk dari rasa benci. Terdengar klise, bukan? Tetapi itu benar adanya. Cinta tumbuh secara perlahan, membuatnya tidak sadar bahwa cinta sudah tumbuh di hatinya. Cinta itu rumit, sulit dan membuat melilit.
Yogyakarta 1983
Suara radio yang patah-patah membuat Karto emosi dan terus menepaknya tanpa henti sampai suara radio itu lekas membaik. Suara yang menampilkan sebuah berita, tampak terdengar menarik di telinga Karto. Membuatnya lantas menghentikan aktivitas memotong kayu bakarnya. Atensinya mengarah ke radio.
"Petrus?" gumamnya setelah mendengar berita hangat dari radio miliknya.
Saat sedang fokusnya mendengarkan radio, seorang gadis kecil menarik ujung bajunya. Gadis kecil itu tampak menunduk takut.
"Kasih laper," cicit bocah yang bernama Kasih itu.
Karto berdecak kesal, kemudian mengikat kayu bakar itu dengan tali yang kuat. Diletakkannya kayu itu ke pundak, lalu menyuruh Kasih untuk membawakan radionya. Mereka tak banyak berbicara di jalan, karena memang Karto dan Kasih tidak sedekat bapak dan anak di luaran sana.
Kasih sedikit sulit mengejar Karto yang langkahnya lebih lebar dan cepat darinya. Sehingga membuat gadis kecil itu berlari kecil menyamai langkahnya dengan langkah Karto. Sementara Karto tampak tak peduli dengan gadis kecil yang kesusahan menyamai langkahnya sambil menenteng radio di belakangnya itu.
Saat sudah sampai rumah, Karto langsung menaruh kasar kayu bakar di belakang rumahnya. Ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan kakinya yang kotor, sambil memikirkan berita yang baru saja ia dengar tadi di radio.
"Simbah, Kasih laper," ungkap Kasih menatap Simbah—Sumiati dengan lekat.
Wanita yang sudah berumur senja itu lantas berdiri dari duduknya. Mengajak cucunya yang sedang lapar menuju dapur. Tangannya meraih ubi dan memberikannya pada Kasih.
"Ubi lagi, Mbah?" tanya Kasih pelan.
Sumiati mengulum senyum, tangannya meraih mengusap pucuk kepala Kasih. "Iya, hanya itu yang ada di dapur."
Kasih tersenyum memperlihatkan deret gigi putihnya. "Nggak apa-apa, Kasih suka ubi, kok!" serunya, lalu memakan lahap ubi itu. Sumiati menatap Kasih dengan senyuman tidak tega. Ia juga ingin memberikan makanan yang enak pada cucu kesayangannya itu. Tapi apa daya, kemiskinan selalu menjadi hal utama.
Setelah memakan ubi sampai habis, Kasih meminum air yang baru direbus Sumiati. Karena mumpung hari libur sekolah, Kasih dengan giat membantu Sumiati membersihkan rumah. Gelak tawa tercipta di antara mereka, sampai membuat Karto terusik dan memarahi Kasih. Tentu saja Sumiati membela cucunya.
Semenjak istri Karto meninggal karena pendarahan hebat seusai melahirkan Kasih, Karto menjadi membenci anaknya itu. Padahal, Kasih sangat menyayangi Karto. Tapi tak pernah sekali pun Karto memahaminya. Darah daging istrinya mengalir di dalam tubuh Kasih, tapi rasa benci masih menguasai Karto.